Bambang Sujatmiko, Presiden & CEO Aerofood ACS: “Bisnis Makanan Hingga Jasa Penatu”

Thursday, 05 January 17 Venue

Latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang sama sekali berbeda tidak menghalangi kesuksesan Bambang Sujatmiko dalam memperluas bisnis Aerofood ACS. Dari awalnya hanya mengelola lima dapur, saat ini Aerofood ACS memiliki sembilan dapur.

Bambang mengaku bahwa ia lama berkecimpung di dunia perhotelan. Ia pernah menjadi general manager beberapa hotel di Bandung dan Bali. Sukses di dunia perhotelan, pada 2005 ia diajak bergabung dengan Aerowisata untuk menangani Aerofood ACS. Waktu itu, Aerofood ACS yang didirikan pada 1974 hanya memiliki lima dapur yang melayani inflight catering seluruh penerbangan Garuda Indonesia, yakni di Jakarta, Makassar, Surabaya, Balikpapan, dan Medan.

“Untuk rute internasional Garuda juga kami yang urus. Kami yang cari katering setempat, seperti dalam waktu dekat Garuda akan buka ke Mumbai, kami yang siapkan kebutuhannya,” ujar Bambang.

Selain menyuplai makanan untuk Garuda Indonesia, Aerofood juga menangani inflight catering sekitar 30 maskapai asing yang terhubung dengan Indonesia, antara lain Emirates, Saudi Arabian Airlines, Singapore Airlines, Cathay Pacific, Eva Air, dan JAL. “Kita punya chef Jepang, Cina, Timur Tengah, dan Eropa. Jadi, apa pun makanan yang diminta, bisa kami sediakan,” ujar Bambang.

Bambang menjamin kualitas dan keamanan makanan yang disajikan oleh Aerofood, hal itu terbukti dari sertifikat ISO 9001 Quality Management dan ISO 22000 Food Safety Management yang diterima Aerofood.

“Itulah (inflight catering) main business Aerofood yang dikelola saat saya masuk. Saat itu pun belum ada low cost carrier, masih full service semua, seperti Garuda, Merpati, Sriwijaya, dan Sempati,” ujar Bambang.

Tiga Divisi Baru Aerofood

Dengan berjalannya waktu dan mulai bermunculannya low cost carrier, Bambang mulai mencari peluang bisnis baru, salah satu yang dibidik adalah industrial catering. “Dulu berdarah-darah juga pas memulainya. Pertama kali kita dapat di Bengalon, Sangata, Kalimantan Timur, yaitu perusahaan pertambangan. Itu di tahun 2007,” ujar Bambang.

Dengan adanya bisnis non organik ini, Bambang mulai merintis kesuksesan di perusahaan minyak, pertambangan, dan gas. Salah satu klien terbesar Aerofood untuk industrial catering adalah Conoco di Selat Tomori. Mayoritas industrial catering ini ada di perusahaan-perusahaan yang lokasinya terpencil maupun di laut lepas.

BACA JUGA:   Artotel, Estetika dalam Fungsi Hotel

Selain berhasil menjalankan industrial catering, Bambang juga menelurkan ide baru untuk menangani sektor kesehatan, salah satunya adalah rumah sakit. Di Jakarta sendiri kurang lebih ada 16 rumah sakit yang kebutuhan asupan makanan untuk pasiennya ditangani oleh Aerofood. “Selain di Jakarta, ada juga di Surabaya, Bali, dan Medan,” ujar Bambang.

Divisi ketiga yang berhasil dijalankan oleh Bambang adalah town site catering. Divisi ini menyediakan makanan untuk karyawan pabrikan. Beberapa pabrik yang menjadi klien Aerofood ada di Cikarang dan Tangerang.

“Dari lima dapur pada 2005 tadi, akhirnya kita menambah tiga divisi itu, yaitu industrial catering, health care catering, dan town site catering, dan jumlah dapurnya pun meningkat menjadi sembilan dapur,” kata Bambang. Tambahan dapur tersebut ada di Yogyakarta, Bandung, Pekanbaru, dan Lombok.

Selain itu, Aerofood juga diminta menangani seluruh station Garuda di seluruh Indonesia. Jadi, kini Aerofood menangani total 61 station di seluruh Indonesia, dengan rincian 9 dapur milik Aerofood dan 52 station milik Garuda Indonesia. Dengan jumlah dapur yang begitu banyak, Aerofood pun terpaksa menggandeng pihak ketiga di lokasi setempat. Per harinya, Aerofood memproduksi sekitar 50.000 porsi makanan untuk disuplai ke pesawat, dan itu belum termasuk makanan kecil untuk rute-rute jarak pendek.

“Tapi kita tidak puas sampai di situ karena memang basic needs orang itu ‘kan makanan. Pada tahun lalu kita masuk ke Pelni. Pelni yang tadinya masak di kapal, sekarang sudah disiapkan frozen food oleh Aerofood dan tinggal dipanaskan di kapal,” ujar Bambang.

Tak Melulu Makanan

Dari bisnis utama sebagai penyedia katering, Bambang diberi tanggung jawab yang lebih besar oleh induk perusahaan, yaitu garuda indonesia, untuk tidak hanya menangani makanan, tapi juga menyiapkan inflight service material, seperti piring, selimut, troli, bantal, dan amenities toilet, di seluruh armada Garuda Indonesia.

“Pesawat komersial di dunia itu hanya dua, kalau tidak Airbus ya Boeing. Yang membedakan mengapa setiap maskapai punya bintang yang berbeda-beda, itu karena pelayanan dan perlengkapan yang ada di dalam pesawat. Itulah yang menjadi tugas kami untuk memberikan yang terbaik,” ujar Bambang.

BACA JUGA:   Wita Junifah: Piawai Melihat Peluang

Aerofood juga memperluas bisnisnya dengan menyediakan jasa laundry yang berlokasi di Jakarta dan Denpasar. “Awal berdirinya memang untuk support Garuda, tapi ternyata kita masih memiliki idle capacity untuk mencari uang di luar Garuda, karena itu kita juga menangani maskapai asing dan hotel-hotel. Bahkan, laundry yang di Bali lebih besar daripada di Jakarta karena hotel-hotel di sana ternyata juga tidak punya mesin laundry sendiri. Laundry untuk hotel ternyata juga lebih besar daripada laundry untuk maskapai,” ujar Bambang.

Tantangan Makanan Beku

Dapur yang dikelola Aerofood sangatlah berbeda dengan restoran pada umumnya. Kalau restoran itu memasak untuk langsung disajikan, sedangkan dapur-dapur Aerofood memproduksi makanan beku yang nantinya akan dipanaskan di dalam pesawat. Hal itulah yang menjadi salah satu tantangan bagi Aerofood.

“Kalau terbang hari ini dengan Garuda, itu makanannya dimasak kemarin. Namun, masih aman karena bakteri akan mati kalau suhunya di bawah 5 derajat dan di atas 70 derajat. Karena itu, kita sangat mewanti-wanti kalau mengantar ke pesawat suhunya tidak boleh di antara tersebut. Kita selalu bawa termometer gun, dicek ketika baru diantar dan ketika akan masuk pesawat. Apalagi untuk maskapai asing, itu sangat ketat,” ujar Bambang.

Namun, yang agak sulit dikontrol oleh Bambang adalah sopir yang mengantar makanan tersebut, terutama makanan yang diantarkan dari Surabaya ke Denpasar menggunakan jalur darat. “Terkadang sopirnya mematikan mesin mobil sehingga suhu di freezer jadi berubah. Kita biasanya black list provider yang pernah seperti itu,” ujar Bambang.

Kendala lain yang juga menjadi isu utama di industri makanan adalah keberadaan benda aneh di makanan yang disajikan, seperti rambut. Bambang mengaku bahwa hal itu susah sekali dipantau karena benda asing bisa masuk dari mana saja, apalagi dengan banyaknya produksi makanan per harinya. Namun, Bambang memiliki batas-batas toleransi mengenai hal tersebut.

“Dalam hukum internasional untuk inflight catering, 1 dari 10.000 benda asing yang tidak membahayakan masuk ke dalam makanan, itu masih boleh, kecuali benda asingnya itu membahayakan seperti kecoa,” ujar Bambang.

Kendala yang terakhir yang dihadapi Aerofood adalah ketersediaan bahan makanan yang tidak selalu ada. Di Indonesia, buah dan sayur hanya ada pada musim-musim tertentu, sedangkan keduanya dibutuhkan setiap hari oleh Aerofood. Solusinya, Bambang mengimpor kebutuhan tersebut, terutama untuk daging.

BACA JUGA:   Hariyadi Sukamdani: 2021 Lebih Baik, Tapi Tidak Seperti 2019

“Kenyataannya, produk-produk impor itu memang lebih bagus, murah, dan efisien, tapi ‘kan nationality kita jadi hilang. Namun, kita tetap mengusahakan mencari sumber-sumber lokal, khususnya buah dan sayur-mayur,” ujar Bambang.

Aerofood Goes Retail

Tak puas dengan katering dan penyediaan inflight service material, Bambang berniat untuk merintis bisnis ritel dan sales on board. Salah satu bisnis ritel yang cukup berhasil adalah restoran Dapur Selera yang beroperasi di Yogyakarta. Selain itu, Aerofood juga mulai menangani penyediaan sarapan untuk di hotel-hotel bujet, seperti di Pop Hotel.

Untuk sales on board, Bambang akan mencobanya terlebih dahulu di Air Asia X rute Denpasar-Perth, Denpasar-Brisbane, dan Denpasar-Darwin. Bambang menambahkan, apabila sudah mengerti betul sistem dan cara kerjanya, barulah program sales on board tersebut akan diterapkan di Garuda Indonesia.

“Dalam program sales on board ini, kita tidak hanya menyuplai makanan, tapi juga minuman dan dry goods lainnya, nanti staf maskapai tersebut yang menjualnya di pesawat,” ujar Bambang.

Selain itu, rencana bisnis yang akan coba dilakukan oleh Bambang adalah menyuplai makanan ke PT KAI. “KAI kita sedang approach, tapi kita belum ketemu model bisnisnya seperti apa. Mudah-mudahan pada tahun 2017 sudah bisa dijalankan,” ujar Bambang.

Kesuksesan dan prestasi Bambang di Aerofood diikuti dengan kesuksesan dipilihnya ia menjadi Ketua Asia Pacific Onboard Travel (APOT Asia) pada pertengahan November 2016. APOT Asia merupakan asosiasi khusus yang memiliki 700 anggota terkait dengan inflight service. Asosiasi ini bertujuan menjalin kerja sama dan sharing informasi terbaru di industri inflight service Asia, serta mempromosikan pariwisata di Asia.

Penulis: Harry Purnama