Suku Badui dipercaya sebagai penjaga tradisi budaya Sunda kuno era Pajajaran. Di Brebes, Jawa Tengah, ada komunitas Jalawastu, sekelompok masyarakat yang menjaga tradisi Sunda.
Brebes bagi pelintas Pantura mungkin hanya dikenal sebagai penghasil telur asin dengan rasa dan kualitas istimewa. Namun, Brebes bukan melulu soal telur asin. Sekitar 30 menit ke arah selatan dari Brebes, ada Desa Cisereuh di Kecamatan Ketanggungan yang memiliki jejak peninggalan Kerajaan Pajajaran.
“Dari 17 kecamatan di Brebes, terdapat tujuh kecamatan berbahasa Sunda, salah satunya di Cisereuh yang memiliki komunitas Jalawastu yang masih berpegang teguh dengan budaya Sunda dan penganut Sunda Wiwitan,” ujar Wijanarto dari Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Warga Jalawastu yang tinggal di kaki Gunung Kumbang menjadi episentrum masyarakat yang berpegang teguh dan menjaga tradisi Sunda Kuno era Kerajaan Pajajaran. Menurut Wijanarto, kebudayaan mereka merupakan asimilasi budaya Sunda dan Hindu yang pernah ada pada era Pajajaran.
Berkunjung ke kaki Gunung Kumbang menjadi menarik saat warga Jalawastu menggelar ritual Ngasa yang diadakan setiap setahun, tepatnya setiap Selasa Kliwon mangsa kasanga–dalam penanggalan masyarakat Sunda di Jalawastu.
Pada 2018, upacara Ngasa diperkirakan digelar pada bulan Maret. Dalam mitologi Jalawastu, Ngasa berarti perwujudan rasa syukur kepada Batara Windu Buana yang dianggap sebagai pencipta alam.
Menurut pemangku adat Jalawastu, Dastam, upacara adat Ngasa ini telah dilaksanakan oleh warga secara turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Ngasa pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Bupati Brebes IX Raden Arya Candra Negara.
Seiring perkembangan zaman dan masuknya agama Islam, warga secara bertahap memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam upacara adat Ngasta. Sebagaimana leluhur mereka, warga Jalawastu juga pantang makan nasi beras dan protein hewani. Mereka menggantinya dengan jagung yang ditumbuk halus sebagai makanan pokoknya dengan lauk lalapan dedaunan, umbi-umbian, pete, terong, sambal, dan lain-lain. Begitu pun dengan piring dan sendok yang digunakan tidak menggunakan alat yang terbuat dari bahan kaca, melainkan dari seng atau dedaunan.
Berakar Budaya Sunda
Adat istiadat yang terjaga dan lestari itu membuat warga Jalawastu dijuluki sebagai Badui di Jawa Tengah. Dastam, pemangku adat Kampung Jalawastu, mengatakan, ada beberapa persamaan antara warga Jalawastu dan Badui, salah satunya adalah menganut Sunda Wiwitan.
Sunda Wiwitan meyakini bahwa alam dan arwah leluhur memiliki kekuatan yang mengatur kehidupan mereka (animisme dan dinamisme). Namun mereka mengakui adanya yang Maha Esa, yang memiliki kekuasaan jauh di atas para dewata, yang mereka sebut sebagai Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan agama asli penduduk Jawa Barat di masa lampau sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam. Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian—sebuah kitab dari zaman Kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan, dan pelajaran budi pekerti.
Pantangan Unik di Kampung Budaya Jalawastu
Meskipun terbuka bagi masyarakat umum, dan membuka diri terhadap modernisasi, warga Jalawastu masih menerapkan berbagai pantangan. Misalnya, pantang membangun rumah dengan menggunakan semen, keramik, dan genting. Pantangan itu berusia ratusan tahun, dan dilestarikan secara turun-temurun.
“Kesederhanaan warga karena semen dan keramik dianggap barang mewah, membawa kemari juga sulit. Warga akhirnya membangun rumah secara sederhana dan melupakan semen dan keramik,” ucap Dastam.
Genting juga barang langka di desa itu karena sukar dibawa ke desa itu. Warga pun memanfaatkan alang-alang sebagai atap sekaligus penghangat rumah. Kayu yang mereka gunakan untuk membangun rumah juga bukan sembarang kayu. Umumnya, warga Jalawastu menggunakan kayu cangcaratan dan kayu kitambaga. Dua kayu itu dikenal memiliki batang yang kuat, anti-air, dan tidak mudah lapuk. Jumlahnya yang melimpah di sekitar desa mereka tak membuat kayu ini serampangan ditebang.
“Boleh ditebang, tapi syaratnya untuk membangun rumah sendiri dan tidak boleh untuk dijual,” kata Dastam.
Larangan lainnya berupa mementaskan wayang, memelihara angsa, domba, dan kerbau, serta menanam bawang merah. Mementaskan wayang, menurut Dastam, tidak diperbolehkan karena berkaitan dengan memainkan peran manusia, sedangkan memelihara hewan tertentu dilarang karena dianggap mengotori lingkungan. “Sementara larangan menanam bawang hanya karena tanaman itu tak cocok tumbuh di Jalawastu, hingga dapat merugikan petani,” kata Dastam.
Selain itu, terdapat mitos Dayeuh Lemah Kaputihan yang berkembang dalam masyarakat kampung Jalawastu, yang menyebut sekitar Jalawastu merupakan tanah suci, tempat tinggal para dewa dan wali, sehingga tidak boleh berkata dan berperilaku kotor.
Masyarakat di Jalawastu masih sering menggelar tradisi Ngaguyang Kuwu untuk memohon turunnya hujan. “Ngaguyang Kuwu ini memang biasa digelar ketika musim kemarau tak menunjukkan tanda-tanda berakhir,” jelasnya.
Rute ke Jalawastu
Jalawastu paling mudah dijangkau dari Cirebon. Dari Jakarta, Anda bisa menggunakan kereta api atau bus ke Cirebon. Sementara bila menggunakan kendaraan pribadi atau bus melalui Jalan Raya Pantura atau Tol Jakarta-Cikampek dan Tol Cipali, dengan waktu tempuh sekitar empat jam (216,9 km).
Di Cirebon, Anda bisa bermalam atau langsung melanjutkan perjalanan ke Brebes, dengan waktu tempuh 1 jam 30 menit. Sesampai di Brebes, Anda melanjutkan perjalanan ke arah selatan, menuju Kecamatan Ketanggungan dan berlanjut ke Jalawastu sejauh 50 kilometer atau sekitar 2,5 jam perjalanan.
Akomodasi
Di Jalawastu tak ada penginapan atau hotel, namun ada beberapa homestay. Anda dianjurkan menginap di Cirebon atau Brebes, yang memiliki hotel yang sangat layak untuk menginap.
KOMENTAR
0