DPP Dewan Industri Event Indonesia (IVENDO) bersama Indonesia Professional Organizer Society (IPOS) kembali mengadakan survei terkait dampak pandemi COVID-19 pada pelaku industri event Indonesia. Survei ini merupakan kelanjutan dari survei serupa yang telah dilaporkan pada 23 Maret 2020 silam.
Survei yang dilakukan dengan metode random sampling ini melibatkan 235 responden dari perusahaan penyelenggara event dan freelancer atau event profesional. Survei kali ini menggambarkan kondisi terkini pelaku industri event di Indonesia pada tahun 2020 dan 2021.
“Kami melakukan survei ini sejak tanggal 10 hingga 19 Januari 2021 dengan responden yang tersebar di seluruh Indonesia,” kata Mulkan Kamaludin, Ketua Umum IVENDO.
Dalam survei ini, IVENDO membagi hasil survei berdasarkan kategori responden di dalamnya, yakni perusahaan event dan freelancer. Profil responden dari kategori perusahaan yang telah mengisi kuesioner didominasi dari pemilik usahanya langsung, dengan persentase 65 persen. Selanjutnya, 23,33 persen diisi oleh setingkat direktur atau deputi di perusahaannya.
Saat ditanya kondisi perusahaannya saat ini, 24,77 persen mengatakan kantor tetap beroperasi, namun mengurangi jumlah karyawan di dalamnya. Kemudian, 23,39 persen menyatakan kantornya belum dapat beroperasi, serta 20,64 persen telah kembali beroperasi, namun mengurangi upah karyawannya.
Meskipun ada beberapa perusahaan yang belum memulai operasionalnya pada tahun 2020, terdapat 70,83 persen perusahaan yang telah mendapatkan orderan kegiatan. Dalam hal ini, orderan terbesar berasal dari lembaga pemerintah dengan jumlah 21,78 persen dan 17,78 persen dari Kementerian Republik Indonesia.
Pemilihan platform kegiatan juga menjadi hal utama yang harus diperhatikan selama pandemi ini. Terdapat 38,86 persen perusahaan yang lebih memilih menggelar acaranya melalui kegiatan virtual. Sisanya, 31,43 persen dilakukan secara hybrid (offline dan online) dan masih ada yang menggelar secara offline sebesar 29,71 persen.
“Kebanyakan untuk kegiatan meeting seperti workshop, bimtek, FGD, dan lainnya dengan perolehan 26,86 persen. Setelah itu baru disusul kegiatan webinar, incentive, dan special event,” ungkapnya.
Kendati demikian, jumlah event yang dipegang masing-masing perusahaan masih terbilang sedikit. Dalam survei ini memperlihatkan bahwa 50,83 perusahaan hanya mampu mendapat 1 hingga 5 event saja selama tahun 2020. Sementara, rata-rata total omzet kotor perusahaan di tahun 2020 didominasi dengan jumlah Rp10 juta hingga Rp50 juta saja per event.
Di situasi saat ini, untuk menyelenggarakan sebuah event memang membutuhkan sertifikasi (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability). Sertifikasi ini merupakan salah satu bagian program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk meyakinkan konsumen bahwa sebuah event dapat berjalan dengan aman dan nyaman.
Namun disayangkan, 85 persen responden yang mengikuti survei ini mengaku belum memiliki sertifikasi CHSE bagi perusahaannya. Hal terbesar yang menyebabkan ini terjadi ialah perusahaan event tersebut belum melakukan pendaftaran terkait penerimaan sertifikasi CHSE dari pemerintah.
Oleh sebabnya, jika pandemi masih berlangsung hingga akhir tahun 2021 atau lebih, 33,65 persen pemilik perusahaan event akan memilih untuk membuat diversifikasi produk atau usahanya. Selanjutnya, 27,57 persen akan melakukan efisiensi di seluruh sektor yang ada. Hal ini dilakukan agar perusahaannya masih dapat terus berjalan dan mendapatkan pemasukan.
KOMENTAR
0