MICE itu sejatinya barang baru, muka lama. Sejak zaman kolonial kegiatan MICE sudah diselenggarakan di Indonesia.
Terminologi MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) sebagai sebuah industri memang terbilang baru, sehingga orang masih banyak belum memahami potensinya. Padahal, aktivitas dari sektor ini telah berlangsung sejak masa kolonial, sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
Salah satunya adalah Pasar Gambir, yang diselenggarakan sejak pertengahan abad ke-19 di kawasan Koningsplein, yang kini menjadi Monumen Nasional (Monas). Konsep acaranya kurang lebih serupa dengan perhelatan Jakarta Fair saat ini. Ada wahana hiburan, pertunjukkan seni budaya, pameran, ajang promosi, dan edukasi.
Awalnya, durasi penyelenggaraan Pasar Gambir hanya berlangsung satu pekan. Namun, karena tingginya animo masyarakat untuk bertandang, durasinya diperpanjang menjadi dua pekan.
Berdasarkan catatan surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad pada 23 September 1921, Pasar Gambir saat itu berhasil mendatang 334,985 pengunjung. Tak hanya dari Jakarta, pengunjung juga berdatangan dari kota-kota lainnya. Konon, penyelenggara Pasar Gambir mengantongi pendapatan bersih sebesar kurang lebih 18 ribu gulden.
Harga 5,6 kilogram emas saat itu sekitar 40 ribu gulden. Apabila dikonversi dengan nilai emas saat ini, harga 5,6 kilogram emas itu sekitar Rp5,6 miliar. Jadi, kira-kira pendapatan bersih Pasar Gambir ketika itu mencapai kurang lebih Rp2,5 miliar.
Di Semarang ada kegiatan serupa yang lebih besar. Namanya Tentoonstelling, yang kemudian dikenal oleh masyarakat lokal dengan Pasar Sentiling. Konsep acara menyerupai World Expo, yang dijadikan banyak negara atau perusahaan sebagai ajang memamerkan berbagai komoditas produk, kemajuan ekonomi, teknologi, dan pengemasannya dibalut dengan nuansa rekreasi.
Berlangsung selama tiga bulan, dari 20 Agustus sampai 22 November 1914, kegiatan itu berhasil mendatangkan 670 ribu orang dari berbagai negara dengan total pengeluaran mencapai 114 juta gulden, atau sekitar Rp16 triliun. Itu berdasarkan catatan Gedenkboek der Koloniale Tentoonstelling (1915) seperti dikutip dari Tirto.id.
Jika laporan itu benar, terbayang betapa besarnya kegiatan Tentoonstelling pada saat itu. Ditengarai, total lahan yang digunakan mencapai 26 hektar di kawasan Mugasari, Semarang, milik Raja Gula Oei Tiong Ham, pengusaha terkaya di Asia ketika itu.
Persiapan kegiatan Tentoonstelling juga berlangsung beberapa tahun sebelumnya. Beberapa infrastruktur di Semarang pun dibangun, mulai dari jalan hingga stasiun kereta untuk mempermudah aksesibilitas dari dan ke lokasi acara.
Meskipun kemeriahan Tentoonstelling yang diselenggarakan untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis itu menuai kritik dari Ki Hajar Dewantara. Itu sebuah ironi. Sebuah perayaan kemerdekaan digelar di negara yang dijajah. Wajar apabila Ki Hajar Dewantara kemudian geram.
Titik Nol MICE Indonesia
Melompat maju ke era kemerdekaan. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan Konferensi Asia Afrika pada 18-24 April 1955. Ini adalah acara MICE perdana berskala internasional yang berlangsung pasca Indonesia Merdeka. Dan boleh dibilang merupakan titik nol sejarah MICE nasional.
Selain menghasilkan keputusan politis yang mendongkrak pamor Indonesia di kancah internasional, pelaksanaan KAA juga memberikan dampak ekonomi besar, terutama untuk warga Bandung. Pasalnya, KAA dihadiri 1.500 delegasi dari 29 negara, dan diliput oleh kurang lebih 700 wartawan nasional dan internasional.
Untuk menyukseskan itu, pemerintah membentuk Panitia Interdepartemental pada 11 Januari 1995, hanya beberapa bulan sebelum konferensi berlangsung. Mafhum, belum ada professional conference organizer (PCO) ketika itu. Dan Panitia Interdepartemental itulah yang kemudian menyiapkan berbagai macam kebutuhan konferensi.
Semisal kebutuhan akomodasi. Para tamu negara diinapkan di 14 hotel, 31 resort dan bungalow, serta rumah penduduk yang disulap menjadi penginapan sementara. Sekretariat Bersama juga menyiapkan 143 mobil sedan (Fiat, Austin, Plymouth, Mercedes Benz, Chevrolet), 30 taksi, dan 20 bus, dengan jumlah sopir yang terlibat sebanyak 230 orang, dan menyiapkan 350 ton bensin per hari untuk kebutuhan operasional, serta 175 ton bensin cadangan.
Dengan segala keterbatasan, dan minimnya pengalaman menyelenggarakan event akbar berskala internasional, Indonesia berhasil menjadi tuan rumah yang baik. Dari kegiatan itu kemudian lahirlah Dasasila Bandung, yang merupakan intisari dari pertemuan para kepala negara se Asia Pacific di Bandung.
Sebelum KAA, Indonesia sejatinya juga pernah menyelenggarakan kongres yang lumayan besar, yaitu Kongres Koperasi Nasional yang berlangsung pada 12 Juli 1947. Waktu pelaksanaan kongres itu kemudian diperingati sebagai hari koperasi nasional.
Namun, melihat skala dan magnitude kegiatan, beberapa orang sepakat jika KAA 1955 merupakan titik nol sejarah MICE Indonesia. “Meskipun istilah MICE belum dikenal, dari sisi event KAA tahun 1955,” kata Christina L Rudatin, dari Politeknik Negeri Jakarta.
Pendapatan serupa disampaikan oleh Susilowani Daud, Direktur Utama Pacto Convex. “KAA itu bisa jadi titik nol. Itu ide cemerlang dari Soekarno. Indonesia jadi terkenal di dunia,” katanya.
Ide ‘gila’ lainnya yang pernah digagas oleh Soekarno adalah ketika Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan Ganefo (Games of the New Emerging Forces), yang merupakan pesta olahraga tandingan Olimpiade. Berlangsung pada 10 November 1963, Ganefo diikuti oleh sekitar 2.700 atlet dari 51 negara.
Pada waktu itu, Soekarno menjadikan event sebagai salah satu cara mengaktualisasikan pemikiran, gagasan, pertumbuhan ekonomi, dan juga politik Indonesia ke ranah global. Dan itu cara itu juga digunakan oleh presiden selanjut, pada era Presiden Soeharto ada KTT Non Blok pada 1992, hingga perhelatan G20 dan KTT ASEAN di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
KOMENTAR
0