Di zaman serba digital ini penyebaran hoaks melalui internet dan media sosial sangat cepat, bahkan lebih cepat dibanding berita benar yang beredar. Hoaks, menurut Widya Pramusetyo, Aktivis Teknologi Informasi, didefinisikan sebagai berita bohong. Sedangkan Merriam Webster mendefinisikan hoaks sebagai suatu tindakan yang membuat sesuatu yang salah atau tidak masuk akal dapat dipercaya atau diterima sebagai sesuatu yang benar.
“Sehingga bisa disimpulkan hoaks adalah suatu berita atau informasi yang tidak benar yang dibuat seolah-olah benar sehingga dapat dipercaya oleh orang lain,” kata dia dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Rabu (03/11/2021).
Hoaks, menurut Widya, bukan hanya membuat penerimanya mendapat informasi yang salah, tapi juga bisa mengancam nyawa. “Seperti misalnya, hoaks tentang vaksin membuat orang enggan divaksinasi, yang akhirnya berisiko penyakit mematikan,” ujar dia.
Berdasarkan survei Mastel (2017) hoaks yang paling sering diterima masyarakat Indonesia adalah dalam bentuk tulisan. Sementara itu, berdasarkan topiknya, ternyata hoaks seputar isu sosial politik paling banyak diterima masyarakat, juga terkait SARA dan kesehatan.
Widya mengatakan, terdapat ragam berita hoaks, yaitu:
- Satire atau parodi
Informasi yang dibuat untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang, biasanya disampaikan dalam bentuk ironi, sarkasme, atau parodi. Satir umumnya dibuat tanpa maksud untuk mengelabui orang yang melihatnya karena hanya bersifat sindiran. Namun, bagi yang tidak memahami gaya bahasa ini dapat terkecoh dan menganggap informasi yang dilihatnya sebagai sebuah kebenaran, terutama ketika yang menyampaikannya tidak secara jelas menyatakan bahwa informasi tersebut satir.
- Konten yang menyesatkan
Penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu. Biasanya informasi ditampilkan dengan menghilangkan konteksnya untuk menggiring persepsi publik agar sesuai dengan keinginan pembuat informasi tersebut.
- Konten tiruan
Informasi yang dibuat mirip dengan aslinya dengan tujuan untuk mengelabui publik, seperti situs web yang dipalsukan agar pengunjungnya tertipu dan menganggap situs tersebut adalah situs aslinya.
- Konten palsu
Konten baru yang 100 persen salah, sengaja dirancang dan dibuat untuk mengelabui pembacanya. Pembuatan konten palsu ini dapat dilatarbelakangi oleh berbagai tujuan, baik keuntungan finansial, propaganda, maupun kepentingan politik, sehingga berpotensi menyesatkan dan bahkan membahayakan masyarakat.
- Koneksi yang salah
Ketika judul, gambar atau keterangan tidak mendukung konten yang sebenamya. Salah satu contohnya metoda click bait, membuat judul atau gambar yang mengundang orang untuk mengklik tautan dengan bentuk provokatif, menarik dan sensasional, padahal kontennya tidak ‘seheboh’ judulnya.
- Konten yang salah
Ketikan konten yang asli disampaikan dalam konteks yang salah, dimana sebuah informasi (tulisan, gambar atau video) yang benar ditempatkan dalam konteks yang tidak sesuai aslinya.
- Konten yang dimanipulasi
Informasi yang asli dimanipulasi dengan tujuan menipu. Bisa jadi hanya sekadar iseng, tetapi bisa juga bertujuan untuk memprovokasi, menyebarkan propaganda, maupun untuk kepentingan politik.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0