Konvensi Asia Tourism Forum (ATF) pertama kali diadakan di Ho Chi Minh City, Vietnam, pada 1993. ATF digagas oleh Prof. Kaye Chon, Ph.D, CHE, akademisi dari Universitas Politeknik Hong Kong, dengan cita-cita yang luar biasa, yakni membangun pariwisata yang berkelanjutan. Konvensi yang mempertemukan akademisi, peneliti, praktisi, dan pemerintah yang fokus pada industri pariwisata ini tak butuh lama untuk menjadi salah satu konvensi pariwisata yang paling prestisius di Asia Pasifik.
Event dua tahunan ini mampu menghasilkan kajian dan hasil penelitian yang dapat diaplikasikan oleh negara atau destinasi untuk membangun pariwisata yang berkelanjutan. “Pariwisata yang berhasil adalah yang dikelola secara berkesinambungan, bukan dieksploitasi, dan hasilnya bisa untuk generasi di masa mendatang,” ujar Anang Sutono, M.M. Par, CHE, Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Bandung.
Arti penting ATF bagi industri pariwisata nasional inilah yang membulatkan tekad Anang Sutono untuk memboyong event ini ke Indonesia. Usaha Anang juga tak mudah. Pasalnya, untuk menjadi tuan rumah, Indonesia harus berhadapan dengan pesaing yang kuat, seperti Cina, Malaysia, Jepang, dan Singapura. “Saya hanya bicara soal Bandung,” kata Anang mengungkap kunci keberhasilannya membawa ATF ke Indonesia.
Ia membawa sejarah Bandung ke hadapan Prof. Kaye Chon dan stakeholder ATF lainnya. Anang bercerita soal sosok Soekarno, Presiden pertama RI, yang berhasil membangun poros Non-Blok ketika era perang dingin berkecamuk antara Amerika dan sekutunya berhadapan dengan Uni Soviet dan koleganya. Soekarno berhasil membuat konferensi internasional pertama di Indonesia, bertajuk Konferensi Asia Afrika pada 18-24 April 1955. Penyelenggara ATF kian terpesona saat Anang dan timnya memperagakan angklung-alat musik tradisional yang terbuat dari bambu.
Presentasi Anang rupa-rupanya memukau. ATF dipastikan diselenggarakan di Bandung pada 7-9 Mei 2016 dengan delegasi mencapai 400-500 orang. Mereka datang dari 30 negara di Asia Pasifik, termasuk Australia, dan delegasi dari Eropa dan Amerika. Untuk menarik delegasi ke dalam romansa gerakan Non-Blok, Anang dan timnya menggelar acara pembukaan di Gedung Sate atau Gedung Konferensi Asia Afrika. “Kami memilih salah satu di antara dua gedung bersejarah itu,” ujar Anang.
Sementara itu, sidang komisi digelar di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Bandung (STIPB). Bagi Anang dan tim, event ini merupakan pembuktian STIPB sebagai sekolah pariwisata tertua di Indonesia dalam memberikan sumbangsih pariwisata nasional. Agar kualitas kajian yang dihasilkan berlevel internasional, setiap paper yang masuk akan di-review oleh Alastair M. Morrison, Ph.D., CDME, pakar destination management organization (DMO).
Ia memastikan seluruh paper atau hasil penelitian itu akan berguna bagi pengembangan pariwisata nasional. Anang menjanjikan, kajian yang dihasilkan sangat membumi dan diaplikasikan oleh pemerintah maupun praktisi pariwisata. “Pariwisata sebagai industri membutuhkan teori yang membumi, bukan yang mengawang-awang,” papar Anang.
Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya pariwisata yang melimpah untuk menciptakan Wonderful Tourism For Wonderful Life. Pariwisata pada hakikatnya membuat hidup yang lebih baik dan indah, dan keuntungan ekonomi yang didapatkan bisa dinikmati beratus-ratus generasi yang akan datang. Pariwisata bukan mengeksploitasi budaya, sejarah, dan keindahan alam, tapi mengelolanya secara berkesinambungan.
Persoalan utama pariwisata Indonesia sangat kompleks, antara lain minimnya infrastruktur sehingga satu destinasi dengan destinasi lainnya tidak terhubung. Indonesia juga masih kalah bersaing dalam hal mempromosikan dan memasarkan pariwisata. Berbagai persoalan tersebut diharapkan tuntas dalam ATF agar terwujud Wonderful Tourism For Wonderful Life.
Sekilas Data
Event : Asia Tourism Forum (ATF) 2016
Penggagas : Prof. Kaye Chon, Ph.D, CHE
Lokasi : Bandung
Waktu : 7-9 Mei 2016
Delegasi : 400-500 dari 30 negara
Host : Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung
Co-Host : The Hong Kong Polytechnic University, Swiss Contact, IMI University, Leeds Beckett University
Penulis: Ludhy Cahyana
KOMENTAR
0