Menelusuri Sejarah Kota Timah

Monday, 05 October 15 Venue

Pada masa Kerajaan Sriwijaya, Bangka hanyalah daratan berbukit dengan pulau-pulau kecil di sekelilingnya yang konon menjadi tempat persembunyian para penyamun. Keberadaan penyamun di Kepulauan Bangka itu yang ditengarai melatari keberadaan Prasasti Kota Kapur (686 masehi), prasasti kutukan yang dikeluarkan oleh Dapunta Hyang, penguasa Kerajaan Sriwijaya. 

Popularitas Bangka mulai mendunia pasca-ditemukannya timah pada awal abad ke-17 oleh orang-orang dari Johor. Saat itu, timah yang menyelimuti Bangka terlihat meleleh ketika para petani membakar lahan untuk bercocok tanam. Timah yang berlimpah itu pun mengundang para imperialis datang ke Pulau Bangka. Mereka membawa hasil pertambangan timah itu ke kawasan Eropa melalui Muntok, sebuah kota mungil berluas 469 kilometer persegi di ujung bagian barat Pulau Bangka. Belanda yang berhasil mengambil alih Bangka dari Inggris kemudian mendirikan perusahaan timah Banka Tin Winning (BTW) pada abad ke-18.

Museum Timah Indonesia

Setelah lebih dari tiga abad dieksploitasi, timah di Bangka mulai menyusut. Namun, sisa kejayaannya masih berbekas. Di pusat Kota Muntok yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Pangkalpinang misalnya, bangunan bergaya Eropa abad 18 yang dibangun BTW masih banyak dijumpai. Beberapa di antaranya adalah Gedung Residen yang kini menjadi Rumah Dinas Bupati Bangka Barat, Kantor BTW yang disulap menjadi Museum Timah Muntok, dan Pesanggrahan Muntok (Wisma Ranggam) yang dahulu merupakan tempat peristirahatan para pegawai BTW.

Aset sejarah pertimahan itu rencananya akan dijadikan modal bagi Muntok untuk menarik wisatawan guna memacu perekonomian pasca-menyusutnya hasil pertambangan timah. Andai niat itu dikelola secara benar, peluang Muntok untuk mendatangkan wisatawan terbilang cukup besar.

BACA JUGA:   Enam Desa Wisata Peninggalan Megalitikum yang Dapat Dikunjungi Wisatawan

Selain sejarah pertimahan, Muntok juga menjadi saksi perjuangan para pendiri bangsa. Ketika Belanda melakukan Agresi Militer II (Desember 1948), dan berhasil merebut Yogyakarta, sejumlah tokoh nasional semisal Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, M. Roem, dan Ali Sastro Amidjojo ditawan dan diasingkan ke Bangka. Kecuali Bung Hatta, keempat tokoh itu ditempatkan di Pesanggrahan Muntok, bangunan kuno yang dibangun pada tahun 1890 oleh BTW.

Bukit Menumbing

Tidak jauh dari Pesanggrahan Muntok, ada satu tempat bersejarah lain: Pesanggrahan Menumbing yang terletak di pucuk Bukit Menumbing. Bangunan yang juga dibuat oleh BTW pada tahun 1928 ini juga diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan karyawan. Berada pada ketinggian 445 meter dari permukaan laut, lokasi ini memang ideal untuk melepas kepenatan karyawan BTW kala itu. Dari sini, panorama Kota Muntok yang dikelilingi Selat Bangka terlihat menawan.  

Pada masa Agresi Militer Belanda II, Pesanggrahan Menumbing juga pernah dijadikan tempat pengasingan para tawanan politik, termasuk Bung Hatta dan Bung Karno. Itulah alasan di tempat ini terdapat foto-foto yang menceritakan tentang pengasingan para tokoh nasional serta sebuah mobil kuno (BN 10) yang digunakan Bung Hatta selama diasingkan di Bukit Menumbing.

Pesanggrahan Menumbing memiliki 30 kamar. Beberapa di antaranya dahulu dijadikan sebagai kamar pengasingan tawanan politik. Saat ini, kamar-kamar itu dapat digunakan untuk akomodasi bagi wisatawan. Namun, untuk menikmati sensasi menginap di sini, wisatawan harus mengantongi izin dari pemerintah daerah. Tidak hanya menginap, organizer juga dapat memanfaatkan tempat ini sebagai venue acara, semisal gala dinner atau kegiatan lainnya yang berkaitan dengan sejarah dan budaya. Salah satu korporasi yang pernah memanfaatkan tempat ini ialah Bank Indonesia.

BACA JUGA:   Kuliner Khas Melayu Pemanja Lidah di Siak

Mercusuar Belitung

Tanjung Kalian merupakan lokasi bersejarah lainnya yang terdapat di Kota Muntok. Terdapat sebuah mercusuar yang dibangun Inggris pada 1862. Mercusuar setinggi 56 meter yang memiliki 192 anak tangga ini masih berfungsi hingga saat ini.

Peristiwa bersejarah lainnya adalah ketika Jepang mendarat pada Februari 1942 di Tanjung Kalian. Sebuah tragedi kemanusiaan berlangsung di tempat ini. Kapal Palang Merah MV. Veyner Brooke ditenggelamkan tentara Jepang. Sebanyak 12 juru rawat tewas dalam peristiwa itu, dan 21 juru rawat yang selamat kemudian ditembak mati oleh pasukan Jepang.

Home Stay Fair

Meskipun dibekali sejarah yang panjang, bukanlah hal mudah untuk menjadikan Muntok sebagai destinasi wisata unggulan. Selain lokasinya yang berjarak 2-3 jam berkendara dari Pangkalpinang, akomodasi di Muntok juga masih terbilang minim. Berdasarkan data Kabupaten Bangka Barat, saat ini Muntok baru memiliki satu hotel berbintang dan tujuh hotel melati, dengan jumlah keseluruhan 136 kamar.

Meskipun fasilitas akomodasi terbilang minim, jumlah kunjungan wisatawan ke kota berpenduduk sekitar 50.000 jiwa ini terus bertumbuh. Pada tahun 2013, tercatat ada 7.108 turis, naik sekitar 1.100 turis dibandingkan tahun sebelumnya.

BACA JUGA:   5 Destinasi Wisata Anti Mainstream Versi RedDoorz

Manfaat ekonomi dari peningkatan jumlah kunjungan itu tidak hanya dinikmati oleh kalangan hotel, tetapi turut dirasakan juga oleh 32 home stay di Muntok. “Jumlah home stay tersebar di empat cluster (Melayu, Cina, Eropa, dan luar cluster). Jumlahnya 32 rumah dengan daya tampung mencapai 300 orang,” kata Abang Faizal, Ketua Asosiasi Home Stay Muntok. 

Di tengah keterbatasan fasilitas akomodasi di Muntok, keberadaan home stay memang menjadi solusi bagi para wisatawan. Guna menggandakan nilai ekonomi dari kedatangan wisatawan ke Muntok, Asosiasi Home Stay Muntok bersama pemerintah daerah pun mengajukan diri sebagai tuan rumah Home Stay Fair ASEAN 2015 yang berlangsung pada 3-6 September 2015.

Selain ajang promosi Muntok sebagai destinasi wisata, acara ini juga bertujuan memupuk kesadaran masyarakat lokal untuk menerapkan standar mutu layanan dan fasilitas home stay. “Pemerintah kabupaten, melalui Asosiasi Home Stay Muntok, terus melakukan pembekalan kepada para pemilik rumah singgah untuk menjadi lebih profesional,” kata Abang. (Baca juga: Surga di Pusat Tambang)

Penulis: Dwi Rizki Nuraini