Berdasarkan data dari UNWTO (United Nation of World Tourism Organization), pada 2014 ada sekitar 1,1 miliar perjalanan wisata di seluruh dunia, dan dari angka tersebut, 14 persennya atau sekitar 154 juta merupakan perjalanan bisnis. Dan dari 154 juta itu, sekitar 54 persennya (atau 83,16 juta) merupakan perjalanan untuk kegiatan MICE. Menurut World Travel Monitor, jumlah perjalanan MICE mengalami pertumbuhan enam persen (menjadi 88,1 juta pada 2014 dan 94 juta pada 2015). Sektor insentif juga tumbuh paling tinggi, yakni 61 persen, diikuti oleh sektor konvensi dengan 44 persen.
Di Benua Asia, tiga negara yang menjadi tujuan perjalanan insentif paling utama adalah Korea Selatan, Hong Kong, dan Indonesia. Sementara itu, Bali menjadi kota nomor satu tujuan wisata insentif dunia. Dari 16 destinasi yang ditetapkan menjadi destinasi MICE oleh Kementerian Pariwisata, berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Heri Setyawan, Kepala Pusat Kajian dan Pengembangan MICE dan Event Politeknik Negeri Jakarta, ternyata 12 dari 16 destinasi tersebut yang memang memiliki kekuatan dan potensi di bidang insentif, sedangkan sektor meeting, convention, dan exhibition-nya mengikuti di belakang. Sementara itu, empat destinasi lain yang tidak begitu memiliki kekuatan dan potensi di sektor insentif adalah Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Bintan.
Akan tetapi, persepsi destinasi wisata insentif tersebut perlu disamaratakan terlebih dahulu. Wisata insentif sangatlah berbeda dengan wisata biasa atau yang biasa disebut mass tourism. Wisata insentif juga bukanlah sekadar perjalanan wisata yang merupakan penghargaan kepada karyawan atas kerja kerasnya. Menurut The Society of Incentive Travel Executive (SITE), pada hakikatnya wisata insentif lebih dari sekadar perjalanan yang menyenangkan. Ini adalah sebuah alat marketing dan manajemen untuk memotivasi karyawan, pelanggan, dan sales people, agar bekerja lebih efektif. Awalnya wisata insentif diberikan dalam bentuk uang, tapi sekarang dalam bentuk perjalanan wisata yang istimewa.
Untuk menjadi sebuah destinasi MICE, beberapa kriteria yang wajib dimiliki oleh destinasi tersebut adalah: akomodasi, fasilitas restoran (harga, kualitas, dan variasi), aksesibilitas destinasi, destination image, destination awareness, destination novelty (apa yang menarik dan tidak ada di daerah lain), safety and security, cuaca yang baik dan dapat diperkirakan, physical and socio cultural setting (apa yang dapat diangkat dari destinasi tersebut), entertainment and extra meeting opportunities (belanja, teater, museum), SDM yang berkualitas, dan affordable.
Sejalan dengan hasil pemetaan yang dilakukan oleh Heri Setyawan, Manuel Ferrel selaku Chairman and Founder Olea Consultancy juga menyatakan bahwa potensi wisata insentif di Indonesia cukup bagus. Manuel Ferrel menyampaikan 10 alasan yang pada intinya menyatakan bahwa masa depan wisata insentif sangatlah bagus. (Baca: 10 Commandment Incentive Travel)
Ida Bagus Lolec Surakusuma, Direktur External Relations Pacific World Nusantara, pun menggugah pemerintah daerah dan investor swasta di daerah lain untuk mencoba menyajikan wisata insentif yang menarik bagi perusahaan-perusahaan asing. Alasannya, setiap daerah di Indonesia memiliki obyek wisata yang hampir mirip. Bahkan, keramahtamahan yang menjadi ciri utama penduduk Indonesia pun sebenarnya ada di hampir seluruh daerah, tidak hanya ada di Bali.
“Karena itu, wisata insentif itu sebenarnya lebih ke arah pelayanan yang berbeda dan menimbulkan kesan wow. Misalnya, dalam acara makan malam, kami mengadakan upacara penyambutan menggunakan bantuan orang-orang lokal, seperti dengan tarian khas bali. Penyajian makanan pun dilakukan dengan gaya berbeda, sebab untuk urusan makannya sendiri pun itu adalah hal yang biasa. Mereka sudah terbiasa makan makanan mewah dari berbagai dunia. Karena itu, kami lebih menekankan pada pelayanannya,” ujar Lolec.
Penulis: Harry Purnama
KOMENTAR
0