Desember tidak lagi ceria bagi Mochamad Djufriadi, staf salah satu hotel di Jakarta. Alih-alih mendapat bonus besar akhir tahun, ia justru harus mulai mengencangkan ikat pinggang karena pendapatan service charge hotel tempatnya bekerja terjun bebas. Dari yang biasanya mendapat Rp4-5 juta per bulan, pendapatan hotelnya turun ke level ratusan ribu.
Dua bulan lalu (Desember) hanya Rp1,5 juta, kemudian turun menjadi Rp1,1 juta. Bulan ini (Februari) di bawah Rp1 juta, kata Mochamad yang telah bekerja selama 13 tahun di industri perhotelan.
Beruntung Mochamad tidak dirumahkan seperti yang dialami beberapa koleganya yang masih berstatus karyawan kontrak. Ia masih dipekerjakan meskipun hotelnya kian sepi. Dalam seminggu, ia mengaku hanya bekerja tiga hari, empat hari lainnya libur karena tidak ada yang bisa dikerjakan. Menurutnya, cerita duka itu terjadi pasca-keluarnya aturan pembatasan meeting di hotel untuk instansi pemerintahan.
Sebelum aturan itu keluar, ruang-ruang pertemuan di hotelnya tidak pernah sepi; kamar pun penuh terisi. Pelanggannya bukan hanya instansi pemerintahan yang bermarkas di Jakarta, tetapi juga dari berbagai daerah di Nusantara. Satu dari beberapa pelanggan setianya itu Kementerian Keuangan. Order Kemenkeu itu setiap hari pasti ada, entah itu meeting atau hanya kamar. Sekarang nol. Begitu ada kebijakan, acara-acara itu langsung hilang, tutur Mochamad.
Hal yang dirasakan Mochamad dan hotelnya itu sudah menjadi wabah nasional. Banyak hotel, terutama yang bergantung pada pasar lembaga pemerintahan, mengalami nasib serupa. Apabila wabah ini terus meluas dan berlangsung lama, tahun ini bakal menjadi masa sunset bagi industri perhotelan. Pasalnya, akibat dari aturan itu, potensi kerugian yang dirasakan masing-masing hotel lumayan besar. Di Aston Primera Pasteur misalnya, meskipun kontribusi government meeting hanya berkisar 14 persen, pendapatan hotel yang hilang karena aturan tersebut mencapai Rp800 juta pada bulan Desember lalu.
Begitu aturan itu berlaku, mereka (kementerian/lembaga pemerintahan) langsung membatalkan kegiatannya. Aturan tersebut juga berpengaruh pada kegiatan yang biasa dilakukan oleh BUMN, kata Agustis, Asst. DOS Aston Primera Pasteur.
Hal serupa juga terjadi di kota MICE lainnya, semisal Makassar. Di wilayah timur Indonesia itu, terjadi kurang lebih 100 pembatalan event, dengan jumlah keseluruhan transaksi sekitar Rp10 miliar. Menurut Kwandy Salim, Ketua PHRI Makassar, berkurangnya pendapatan dari pembatasan government meeting itu membuat manajemen hotel merumahkan sementara 2.000 karyawan kontrak.
Di Sumatera Barat juga terjadi pembatalan sekitar 60 kegiatan government meeting dengan total kerugian hotel mencapai Rp5,18 miliar. Jumlah itu didapat berdasarkan hasil survei PHRI Sumbar terhadap 15 hotel yang ada di Padang dan Bukittinggi.
Menurut Maulana Yusran, Ketua PHRI Sumbar, sekitar 60 persen pendapatan hotel-hotel di Sumbar disumbangkan oleh pelbagai kegiatan yang dilakukan instansi pemerintahan. Setiap hotel rata-rata menikmati sekitar Rp750 juta per bulan dari kegiatan pemerintahan.
Berkurangnya pendapatan dari 15 hotel itu otomatis berpengaruh terhadap pendapatan daerah dari pajak hotel yang mencapai 11 persen atau sekitar Rp570 juta. Kemudian, hak pekerja dari pendapatan service charge pun menyusut Rp518 juta. Sebagian hotel juga sudah mulai merumahkan karyawannya. Bila terus berlanjut, hal ini akan berdampak pada kredit macet di sektor perhotelan, kata Maulana.
Di Medan, aturan tersebut membuat pelaku industri perhotelan harus menyiasati strategi pemasaran agar dapat bertahan. Dampak dari aturan itu pasti ada. Kalau dipersentasekan, pasar Santika dari pemerintah berkurang sekitar 13 persen. Memang kecil, tetapi cukup berpengaruh juga. Untungnya, sejak awal Santika tidak hanya mengharapkan dari satu segmen saja, kata Gledy Simanjuntak, Public Relation Manager Santika Premiere Dyandra Hotel and Convention Medan.
Menurut Gledy, apabila dihitung dari segi kuantitas, event pertemuan yang semula dapat mencapai 10 kali per bulan, kini hanya empat sampai lima setelah adanya aturan itu. Yang jelas, dampaknya terasa pada okupansi, yang juga sejalan dengan income, katanya.
Sementara itu, dikeluarkannya aturan tersebut juga mulai memengaruhi minat investor untuk membangun hotel. Seperti yang diceritakan oleh Heru Isnawan, Ketua PHRI Jawa Tengah. Di Semarang, ada dua teman yang membatalkan niatnya membangun hotel. Awalnya, hotel itu akan diintegrasikan dengan mal tetapi dia hanya mau membangun mal dahulu, hotelnya dihentikan, kata Heru.
Bukan hanya pengusaha hotel yang paceklik, para pemasok kebutuhan hotel pun merugi, juga para petani, peternak, dan nelayan yang biasa menjual hasil panennya ke pemasok. Mafhum, dari seluruh biaya kegiatan rapat pemerintahan, sebagian besar untuk kebutuhan makan dan minum para peserta rapat. Bila itu sepi, belanja hotel untuk pelbagai kebutuhan itu pun berkurang setiap bulannya.
Berdasarkan survei yang dilakukan PHRI Sumbar terhadap 20 hotel, jumlah seluruh belanja untuk makanan dan minuman per bulannya mencapai Rp3,7 miliar. Itu terdiri dari belanja sayur-mayur sejumlah Rp378 juta; buah-buahan (Rp414 juta); dairy product: beras, telur, minyak goreng (Rp960 juta); amenities (Rp490 juta); serta daging, ikan, ayam, dan sebagainya (Rp1,5 miliar). Apabila angka-angka itu ditarik ke level nasional, dengan asumsi okupansi sekitar 65 persen, total belanja hotel di Indonesia setiap bulannya ditaksir oleh PHRI mencapai Rp9,1 triliun.
Kontribusi sektor perhotelan terhadap perekonomian nasional jauh lebih besar bila dikaitkan dengan belanja suvenir, kuliner, pajak dari objek wisata, dan kebutuhan transportasi para tamu. Dengan asumsi setiap tamu membelanjakan uang senilai Rp1 juta, perputaran uang dari tamu hotel ini mencapai Rp31 triliun per bulan.
Pemerintah boleh saja bangga telah berhasil melakukan penghematan Rp5,1 triliun dari anggaran rapat pemerintahan selama bulan November-Desember. Meskipun cara penghematannya membuat suram industri perhotelan, MICE, dan pariwisata di Indonesia.
Menurut Kwandy, cara pemerintah untuk berhemat itu hanya memindahkan masalah, seperti membunuh tikus dengan membakar lumbung padi. Kwandy berpendapat, bila persoalan mark-up yang membuat anggaran bengkak, seharusnya yang dibenahi adalah sistem penganggarannya.
Sekarang kan ada anggaran. Kemudian mereka (pemerintah) mengalokasikannya untuk kegiatan meeting. Oleh karena anggaran sudah ada, mereka pun akan berpikir cara agar itu bisa habis. Mereka (pemerintah) sendiri yang memberi peluang, kata Kwandy.
Penulis: Bayu Hari, Erwin, Hanifah Mutiara Sylva, Pasha Ernowo, Tonggo Simangungsong
KOMENTAR
0