Pertumbuhan bisnis hotel di Indonesia, terutama di kota-kota besar, tidak pernah surut. Sejak pandemi COVID-19 berlalu, sejumlah operator hotel terus berekspansi, bahkan ada operator lokal yang merambah hingga ke luar negeri.
Namun, sejatinya, membangun hotel tidak sekadar yang penting ada modal. Kalau tidak hati-hati, bisa jadi modal tersebut tidak akan kembali lagi. Karenanya, dibutuhkan beberapa pertimbangan penting sebelum membangun hotel.
Zita Hanna Mariska, Vice President of Business Development Archipelago, mengatakan, pertimbangan pertama adalah dari segi lokasi, luas tanah, dan bangunannya. Terkait luas tanah, standardisasi dari Archipelago untuk hotel bujet atau bintang dua minimum luas tanahnya adalah 1.000 m2.
“Kemudian, lihat dari kompetensi area dan kompetitor setempat. Kalao segmentasinya masuk, maka kita masuk,” ujar Zita. “Makanya kita selalu ada study market. Datanya masuk ke kita, yang cocok hotel apa dan berapa investasinya, baru kita meeting-kan bersama owner.”
Pertimbangan kedua adalah bujet atau modal dari pemilik hotel serta visi-misinya. Kalau ternyata luas tanahnya cukup untuk hotel bintang 3 tapi ternyata modalnya tidak cukup, maka akan diarahkan untuk membangun hotel bujet saja.
Pasalnya, standar setiap hotel berbintang itu berbeda-beda. Misalnya, di Archipelago, untuk hotel bintang 5 minimal harus mempunyai 150 kamar dengan ukuran kamar di atas 28 m2, lalu ada ballroom berkapasitas lebih dari 1.500 orang.
Untuk investasi, Zita mengatakan, pembangunan hotel bujet dari nol minimal harus mengeluarkan Rp50 miliar, dengan perkiraan BEP atau balik modal 6-8 tahun paling cepat.
“Zaman dulu, hotel bintang 2 itu BEP 4-6 tahun maksimal, bintang 3 itu maksimal 8-9 tahun, bintang 4 sekitar 10-12 tahun, dan bintang 5 sekitar 15 tahun ke atas. Setelah pandemi, semua mundur. Hotel bintang 2 saja rata-rata baru BEP 8-10 tahun,” ujar Zita.
Archipelago sendiri menargetkan pada tahun ini akan membuka 6 sampai 8 hotel baru. Kemudian, dari segi business development-nya, targetnya adalah closing 20 proyek baru per tahun.
“Untuk hotel rebranding itu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun sudah bisa buka. Kalau bangun baru itu 2 tahunan,” ujar Zita.
Terkait dengan studi market di lokasi, Zita menambahkan, kalau di kota besar dan sudah tahu marketnya, pengamatan dilakukan sekitar 1-2 hari. Tak hanya itu, seorang business development juga harus mengetahui rencana tata ruang dan perizinan di setiap daerah.
“Kita punya pengetahuan yang lebih, misalnya nanti di sana akan ada jalan tol. Kemudian, di Banyuwangi, di sana sudah tidak bisa bangun hotel bujet atau bintang dua karena Bupatinya cuma kasih izin untuk hotel bintang 3,” ujar Zita.
Tren Lokasi Hotel
Zita mengatakan, meski kota-kota besar masih menjadi magnet bisnis perhotelan, ke depannya kota tingkat dua maupun tingkat tiga juga memiliki potensi yang sangat besar.
“Setiap daerah ada market potensialnya, cuma belum dilirik saja. Cuma owner kadang-kadang tidak pede saja, tinggal tugas kita meyakinkan mereka,” ujar Zita. “Karena too much di kota besar, sudah banyak juga kompetitor dan gontok-gontokan harga.”
Zita mencontohkan, di Jombang dan Ponorogo, itu market pesantren sangat besar, sementara supply hotel masih terbatas karena orang-orang masih berkutat di kota-kota besar.
“Kita harus pionir, bukan follower,” ujar Zita.
Kalau pun terpaksa mengambil di kota besar, harus memilih lokasi yang strategis. “Misalnya Bali, yang mau bikin di sana itu banyak banget. Tapi kalau tidak di beach front atau tempat yang bisnis, itu kita tidak ambil. Bukan menolak rezeki, tapi kita punya komitmen bisnis. Kalau memang marketnya berat, ya kita bilang saja berat daripada kita janji yang muluk-muluk,” ujar Zita.
KOMENTAR
0