HKTB Bahas Prospek Pariwisata Pasca-Pandemi

Monday, 29 June 20 Bonita Ningsih
Hong Kong Disneyland Resort

Pandemi COVID-19 telah menghadirkan banyak tantangan yang belum pernah dialami sebelumnya. Hampir seluruh negara di dunia merasakan dampak dari pandemi ini sehingga mampu melumpuhkan perekonomian dunia.

Salah satu industri yang paling berdampak dengan adanya pandemi ini ialah pariwisata. Berdasarkan data, pendapatan ekspor pariwisata di seluruh dunia telah hilang US$0,9 triliun hingga US$1,2 triliun. Hal ini sejalan dengan perubahan perilaku konsumen saat nanti melakukan perjalanan wisata pasca-pandemi.

Menanggapi perubahan ini, Dewan Pariwisata Hong Kong (HKTB) menyelenggarakan forum online berjudul “Beyond COVID-19: Global Tourism’s New Normal“. Forum online pertama ini berfokus pada prospek pariwisata pasca-pandemi untuk Hong Kong, Cina Daratan, Asia, dan juga negara di belahan dunia lainnya.

Lebih dari 4.000 perwakilan industri pariwisata, akademisi, serta jurnalis hadir untuk menyimak wawasan pemimpin industri global terkait pariwisata. Beberapa hal yang disampaikan di forum ini di antaranya dampak wabah COVID-19 pada industri pariwisata, bagaimana industri pariwisata harus menyikapinya, hingga tren wisata di periode pasca-pandemi.

BACA JUGA:   Tambah Lahan, INDOFEST 2020 Targetkan Transaksi Rp75 Miliar

Forum online ini menghadirkan tujuh pembicara kelas dunia yang tersebar di berbagai sektor pariwisata. Setiap pembicara membahas sentimen dan perilaku konsumen pasca-pandemi dan memberikan wawasannya mengenai tantangan yang dihadapi industri pariwisata saat ini.

YK Pang, Ketua HKTB, mengatakan, saat ini menjadi waktu yang tepat untuk memulihkan kepercayaan konsumen terhadap pariwisata. Menurutnya, kerja sama di industri pariwisata harus bisa melintasi batas geografis dan bisnis.

“Misi utama kami dalam industri ini adalah untuk memberikan kepercayaan dan kepastian untuk semua wisatawan bahwa perjalanan mereka aman dari awal hingga akhir,” ujarnya.

Pang mengatakan, kegiatan ini menyoroti inisiatif yang diambil industri pariwisata Hong Kong untuk tetap berada satu langkah lebih maju dari kurva penyebaran pandemi COVID-19.

Steve Saxon, Partner, McKinsey & Company, mengatakan, “Banyak yang memprediksi pariwisata global baru dapat kembali normal pada tahun 2022, tetapi di sini, ternyata Cina, Indonesia, dan AS menunjukkan optimisme yang cukup tinggi untuk berwisata.”

BACA JUGA:   Batalkan Event Lari, Pocari Sweat Galang Donasi COVID-19

Meski demikian, kepercayaan wisatawan untuk melakukan perjalanan internasional masih rendah sehingga pemulihan berjalan lebih lambat dari yang diharapkan. Di sisi lain, ia melihat peluang besar untuk memanfaatkan perjalanan domestik terlebih dahulu, khususnya untuk pasar kaum milenial dan keluarga.

Hermione Joye, Sector Lead, Travel & Vertical Search APAC Google, menambahkan, minat pasar global untuk pariwisata turun tiga kali lipat dari masa sebelum terjadinya COVID-19. Akibatnya, tidak ada lagi yang dapat memprediksi kebiasaan, pemikiran, dan perilaku konsumen tentang berwisata pasca-pandemi.

“Saya berharap bahwa tren, wawasan konsumen, dan prinsip-prinsip nantinya dapat membantu pemasar atau pelaku usaha untuk menanggapi dan menavigasi kenormalan baru,” ujar Joye.

Kai Hattendorf, Managing Director & CEO The Global Association of the Exhibition Industry (UFI), mengungkapkan, untuk pameran dan acara bisnis lainnya sudah ditetapkan standar keamanan dan kenyamanan yang tinggi. Dengan prosedur, standar, dan proses baru, diharapkan kegiatan bisnis ini dapat segera terealisasi, khususnya untuk pasar global.

BACA JUGA:   Paviliun Indonesia Hadir Secara Virtual di DDC 2021

“Pameran dan acara bisnis adalah tempat bertemunya pasar dan industri dari seluruh dunia. Jadi, ini merupakan peluang kunci untuk memulihkan ekonomi global,” katanya.

Menurutnya, dengan adanya pandemi ini, acara bisnis akan lebih bergerak ke arah digital dengan memanfaatkan layanan daring yang ada. Namun, dengan adanya pemulihan ini diharapkan akan ada perpaduan antara digital dengan konvensional yang bertemu secara tatap muka.

“Kami mengatakan demikian karena jumlah klik di platform online tidak dapat menggali kesepakatan, dan jumlah views tidak menandatangani pesanan,” dia menambahkan.