Seiring pertumbuhan bisnis wisata halal, hotel syariah mulai bermunculan. Di Indonesia memang baru terdapat 37 hotel bersertifikat syariah, ditambah sekitar 150 hotel lain yang “setengah syariah”. Namun, pertumbuhan wisatawan muslim sepertinya bakal melecut jumlah tersebut.
Prospek bisnis ini memang cukup cerah. Populasi wisatawan dari negara-negara muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah juga terus meningkat. Per Mei 2014, wisatawan Mesir yang mengunjungi Indonesia melonjak 69,98 persen dari tahun sebelumnya. Statistik positif serupa ditunjukkan pada grafik pelancong asal Uni Emirat Arab (naik 68,03 persen) dan Saudi Arabia (43,7 persen).
Pasar lokal juga tidak bisa dipandang remeh. Sebagai negara muslim terbesar sejagat, Indonesia dapat menjaring banyak uang dari wisatawan syariah domestik. Seperti terlihat di Cina, pariwisata domestik dapat menjadi mesin ekonomi yang perkasa. Dengan lebih serius menggarap pasar lokal, pemerintah dapat mematok target pendapatan yang lebih tinggi. Saat ini, dari segi perputaran uang, sektor wisata halal Indonesia baru mencatatkan US$137 miliar pada tahun 2013, dan diprediksi meningkat menjadi US$181 miliar pada 2018.
“Di Indonesia, dari 240 juta penduduknya, sekitar 200 juta adalah muslim yang merupakan potensi. Indonesia itu memang salah satu pasar yang cukup besar, seharusnya bila kita menggarap pasar domestik saja, itu sudah luar biasa,” ujar Esthy Reko Astuti, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Wisata Nusantara Kementerian Pariwisata.
Dalam cakupan tersebut, hotel memainkan peran krusial sebagai mesin bisnis wisata halal. Beberapa hotel yang menggarap lahan ini adalah Sofyan, Azizah (Metropolitan Golden Management), Aston Bali, Hotel Bayt Kaboki Kuta Bali, Hotel Santika Lombok, serta Hotel Mercure Batam.
Rujukan legal bagi bisnis hotel syariah adalah Peraturan Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif No. 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah. Sesuai aturan ini, terdapat dua kategori utama bagi hotel syariah. Pertama (Hilal 1), hotel yang memiliki dapur halal dan kamar kecil yang menyediakan air yang mencukupi untuk bersuci. Kedua (Hilal 2), hotel yang syariah secara total mengharamkan minuman beralkohol, menyaring saluran televisi, dan menyeleksi tamu yang datang berpasangan.
Riyanto Sofyan, Chairman Sofyan Hotel, menjelaskan bahwa esensi bersyariah dalam usaha perhotelan adalah menyingkirkan hal-hal yang membahayakan bagi kemanusiaan dan lingkungan. Baginya, menjadi hotel syariah bukan mempersempit pasar, tetapi memperluasnya karena hotel jenis ini menguntungkan semua tamu, baik muslim maupun bukan.
Sofyan Hotel merupakan contoh bagaimana bisnis hotel syariah cukup prospektif. Jaringan hotel ini bertambah dari tiga menjadi 19 unit properti. “Pada saat awal, jumlah tamu di Hotel Sofyan Tebet memang sempat anjlok sampai 40 persen. Namun, dalam kurun waktu 1,5 tahun, tingkat hunian sudah pulih, bahkan naik 60 persen dibandingkan sebelum memberlakukan seleksi tamu,” jelas Riyanto.
Sejak 1992, Hotel Sofyan sudah meniadakan makanan haram, menutup kelab malam dan dangdut, serta menyeleksi tamu. Pasangan yang hendak menginap diwajibkan menunjukkan buku nikah. Prosedur ini menjadi pembeda utama hotel syariah dari hotel konvensional.
Menurut Riyanto, minimnya hotel syariah saat ini lebih disebabkan rendahnya kesadaran. Banyak yang menganggap hotel syariah hanya digemari para haji dan hajah. Selain itu, beberapa konsep syariah memang kadang sulit diaplikasikan karena berpotensi menabrak pakem bisnis perhotelan yang berorientasi pada kepuasan tamu.
Namun, hotel syariah bukan cuma perkara makanan halal dan ruang ibadah. Dari sisi operasional, hotel jenis ini juga harus Islami. Metropolitan Golden Management (MGM) misalnya, mempraktikkannya dalam pengelolaan keuangan. Menurut Bayu Waskito Nugroho, Vice Director of Business Development MGM, hotel syariah dalam jaringan MGM menjauhi riba. Hotelnya hanya meminjam dari bank syariah dan keuntungannya juga disimpan di bank syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia atau Bank Syariah Mandiri.
Syakir Sula, Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah, mengatakan, Indonesia semestinya berada di garda depan dalam bisnis hotel syariah, sebab 40 persen tamu hotel di Indonesia beragama Islam. Baginya, pengusaha hotel semestinya lebih memerhatikan standar halal dalam aspek pelayanan, paling tidak soal makanan.
“Pengusaha hotel harus memberikan perhatian pada kebutuhan market-nya, paling tidak pastikan bahwa makanan di tempatnya halal. Kita mestinya iri dengan Singapura. Mereka sudah punya empat hotel bintang lima yang syariah, misalnya Hyatt, Royal Plaza, dan beberapa hotel lainnya. Begitu concern-nya orang Singapura terhadap customer karena mereka tahu hotelnya penuh dengan orang Indonesia, Malaysia, dan Brunei,” kata Syakir.
Penulis: Pasha Ernowo
KOMENTAR
0