MarkPlus, Inc. kembali melakukan survei terhadap pariwisata Indonesia di masa pandemi ini untuk mengetahui tingkat pemahaman wisatawan terkait program clean, health, dan safety (CHS) di destinasi wisata.
Survei yang dilakukan terhadap 80 responden ini juga memiliki tujuan untuk melihat pengaruh aturan CHS terhadap minat kunjungan, melihat jenis media yang digunakan oleh pengelola untuk menyebarkan informasi CHS, hingga kesediaan masyarakat dalam menerapkan dan menyebarkan protokol tersebut.
Hasil survei menyebutkan, sebesar 37,5 persen responden mengaku pernah mendengar program CHS, namun masih belum paham dengan penerapan program tersebut. Hasil persentase yang sama juga menunjukkan bahwa responden berusia di bawah 24 tahun belum pernah mendengar program dan penerapan CHS. Sedangkan sisanya 31,3 persen sudah sering mendengar dan cukup paham dengan aturan CHS. Responden yang menjawab terkait hal ini didominasi oleh usia di atas 35 tahun.
Mochamad Nalendra Pradono, Executive Director MarkPlus Toursim, menjelaskan, berdasarkan hasil survei tersebut, terlihat bahwa sosialisasi terhadap program CHS masih kurang dilakukan untuk masyarakat Indonesia, khususnya kepada generasi alpha atau masyarakat yang berusia di bawah 24 tahun.
Padahal, menurutnya, kelompok generasi alpha merupakan umur yang paling aktif untuk bepergian pasca-pandemi. Selain itu, kelompok umur tersebut memiliki potensi sebagai orang tanpa gejala (OTG) dan dapat menyebarkan virus COVID-19 secara cepat.
“Kalau dilihat dari hasil surveinya, sosialisasi program CHS ke generasi alpha memang masih kurang. Mereka belum paham apa yang harus dilakukan ketika mengunjungi destinasi wisata pasca-pandemi, dan itu butuh usaha ekstra dari kita semua,” jelas Nalendra.
Penerapan protokol CHS di suatu destinasi wisata juga dinilai oleh 46,3 persen responden mempengaruhi minat kunjungan. Menurutnya, suatu destinasi harus memiliki protokol CHS yang sudah siap diterapkan sebelum pembukaan kembali destinasi.
Dalam hal ini, sebanyak 90 persen responden merasa tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai CHS di sebuah destinasi. Hal ini menjadi catatan penting bagi destinasi agar mengemas informasi protokol tersebut semenarik mungkin.
Sebanyak 43,8 persen responden mengaku mengetahui informasi mengenai CHS di suatu destinasi melalui saluran televisi. Sedangkan, kelompok responden usia di bawah 24 tahun mendapat informasi lebih banyak melalui media Instagram.
Melihat perbedaan tersebut, Nalendra menyarankan agar pengelola destinasi perlu melakukan pendekatan yang berbeda saat menyebarkan informasi terkait CHS kepada masyarakat. Menurutnya, informasi yang diberikan harus sesuai dengan target dan preferensi media, khususnya bagi generasi alpha. Apalagi, ada 50 persen responden dari generasi alpha menilai bahwa kampanye CHS kurang menarik untuk dilihat.
“Kelompok usia di bawah 24 tahun ini yang perlu diperhatikan dan diedukasi terkait pemahaman CHS sehingga model kampanye harus disesuaikan dengan generasi tersebut,” ucapnya lagi.
Sebanyak 88,8 persen responden mengaku bersedia mengikuti aturan CHS yang diterapkan pengelola destinasi dan 93,8 persen bersedia membantu menyebarkannya. Namun, ada 12,5 persen responden generasi alpha tidak bersedia membantu menyebarkan informasi tersebut. Bahkan, terdapat 15,3 persen responden yang berasal dari luar Jabodetabek memilih kurang bersedia mengikuti aturan CHS.
“Sosialisasi mengenai CHS ini masih harus terus diperkuat agar lebih banyak masyarakat yang mengetahuinya. Apalagi, pengendalian penyebaran COVID-19 ini sangat bergantung pada perubahan perilaku masyarakat pasca pandemi,” kata Nalendra.
KOMENTAR
0