Andhy Irawan: Hotel untuk Kesejahteraan Masyarakat

Tuesday, 10 January 17 Venue

Ketika pada tahun 1989 Andhy Irawan terjun ke industri hospitality, ia optimistis berjodoh panjang dengan sektor tersebut. Jalannya memang tidak mudah karena ia harus membangun dari bawah. “Saya memulai karier sebagai cleaning service di Inna Grand Bali Beach, hingga akhirnya menjadi Managing Director di Dafam Hotel Management. Memulai karier dari nol memberikan saya kesempatan untuk selalu mengembangkan diri. Ini yang membuat saya tidak pernah bosan dengan industri perhotelan,” kata Andhy. 

Peruntungan Andhy di industri hospitality terbuka pada 2009 ketika ia bertemu Billy Dahlan, putra Soleh Dahlan, pebisnis besar sarang burung walet dari Jawa Tengah. Pertemuan itu, menurutnya, berujung pada keputusan bisnis untuk membangun bisnis hotel di bawah brand Dafam. Pada November 2010, dua kolega ini akhirnya mengoperasikan Hotel Dafam Semarang yang diikuti peresmian Hotel Marlin Pekalongan.

Tidak sekadar memiliki hotel, Dafam Hotel Management (DHM) juga menjalankan Dafam Associate yang menaungi tujuh properti di Pulau Jawa. Dalam waktu lima tahun, DHM sukses mengelola empat brand hotel, mulai dari kelas bujet hingga bintang empat, di antaranya Dafam Express, Meotel, Hotel Dafam, dan Grand Dafam. “Dengan begitu, hingga akhir 2015, DHM mengelola 20 hotel. Setiap tahun, kami mengoperasikan empat hotel baru. Ke depannya, kami juga akan mengoperasikan 15 hotel baru,” ujar Andhy.

Sentuhan tangan dingin Andhy membawa jaringan hotel asal Semarang ini menerima berbagai penghargaan. Indonesia Leading Local Hotel Chain 2011/2012 yang diberikan Travel Tourism Award (ITTA) Foundation dan The Best Innovation Marketing dari Marketing Award merupakan contohnya. 

BACA JUGA:   Revitalisasi Pelabuhan dan Pengembangan Wisata Bahari

Bagi Andhy, kesuksesan berbisnis tidak sekadar mengejar keuntungan. Prinsip bermanfaat bagi sesama menjadi salah satu landasan bisnis DHM. Lalu, bagaimana lelaki penerima penghargaan Leader in New Chain Hotel dari Indonesia Travel Business Leader Award (ITBLA) ini memimpin perahu bisnisnya? Berikut petikan wawancaranya.

Apa kunci sukses Anda dalam berbisnis?

Pada dasarnya, saya menjalankan bisnis berdasarkan prinsip D-A-F-A-M. “D” adalah doa dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa; “A”, asas kepedulian terhadap sesama dan lingkungan; “F”, formulasi tata kelola perusahaan yang baik; “A”, amanah menjalankan pekerjaan secara jujur, profesional, dan sepenuh hati; serta “M”, manfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Bisnis ini juga harus bermanfaat bagi masyarakat sekitar, sebab sebagian besar properti kami berada di secondary city sehingga pengembangan ekonomi dan pariwisata kawasan sekitar turut menjadi perhatian kami. Sektor yang paling berpotensi untuk dikembangkan di daerah adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Di Subang misalnya, DHM berperan sebagai mitra pemasaran sejumlah produsen makanan olahan berbahan baku nanas. Selain membantu pemasaran, kami juga memberikan pelatihan seputar desain kemasan yang lebih menarik.

Selain di Subang?

Di Cilacap dan Pekalongan, kami juga bermitra dengan sejumlah pengusaha batik. Kami memfasilitasi mereka untuk berpameran dan berpromosi di hotel. Untuk potensi pariwisata, kami memfasilitasi melalui publikasi media. Saat peluncuran hotel baru misalnya, kami akan mengundang media dan membawa mereka melakukan post-tour ke sejumlah titik wisata setempat.

BACA JUGA:   Budi Karya Sumadi, Direktur Utama Angkasa Pura II: Pelayanan Smile Airport

Dafam Hotel Management Andhy Irawan

Dari pengalaman mengembangkan destinasi, tantangan terbesar apa yang ditemukan DHM?

Sumber daya manusia. Oleh karena itu, kami hadir di secondary city. Citra masyarakat tentang industri ini masih negatif. Stigma inilah yang harus diluruskan. DHM mencoba mendekatkan diri dengan dunia akademi melalui sosialisasi ke sejumlah sekolah menengah kejuruan di area operasional kami. Ini juga membuka pintu karier bagi masyarakat setempat. Pasalnya, komposisi penyerapan SDM lokal di tiap-tiap properti mencapai 75 persen. Agar mampu berdaya saing, kami berkomitmen untuk mendirikan lembaga pendidikan setingkat akademi di bidang perhotelan. Tujuannya agar SDM lokal juga dapat terlibat dalam bisnis ini. Sebagai langkah awal, tahun 2014 lalu kami bekerja sama dengan Pemda Semarang untuk menggelar pelatihan hospitality.

Meski beroperasi di secondary city, Dafam tampaknya serius menggarap pasar MICE, apa alasannya?

Bagi kami, MICE merupakan pasar potensial. Pasalnya, tamu MICE memberikan revenue rata-rata 60 persen di semua jaringan hotel ataupun properti yang kami kelola. Sebelum memasuki sebuah kawasan, kami biasanya melakukan studi kelayakan secara mendetail terkait potensi MICE setempat. Pekalongan misalnya, setelah kami cermati, Kota Batik tersebut memiliki potensi besar di segmen MICE. Itu sebabnya DHM melengkapi Hotel Dafam Pekalongan dan Q Grand Dafam Syariah Banjarbaru dengan ruang serbaguna berkapasitas 1.000-1.500 orang. Edukasi kepada masyarakat setempat juga diperlukan agar stigma menggelar event di hotel mahal dapat bergeser secara perlahan.

BACA JUGA:   Akademika: Vokasi Pariwisata Universitas Indonesia

Apakah semua properti DHM memiliki ruang pertemuan?

Kami belajar dari kesalahan pengelola lain yang mulai menabrak aturan. Meski MICE menggiurkan, tidak berarti kami memfasilitasi ruang pertemuan di setiap properti DHM. Kelas bujet misalnya, kami tidak melengkapinya dengan ruang pertemuan. Alasannya karena memang konsepnya bujet, bed and breakfast. Fasilitas ruang pertemuan hanya kami sediakan pada properti berkelas ekonomi hingga bintang lima.

Sebagai operator, adakah investor yang menolak untuk menggarap MICE?

Kami selalu memberikan pemahaman tentang apa itu MICE dan bagaimana potensinya kepada investor. Pasalnya, tidak semua klien mengerti bisnis perhotelan. Kami tidak ingin ada investor yang awalnya tidak mau memiliki ruang pertemuan, namun di tengah jalan (karena besarnya potensi) malah berubah pikiran. Akibatnya, hotel itu malah mengubah konsep dan desainnya.

Penulis: Harry Purnama