Pantai di kaki Bukit Timbis punya banyak nama. Warga setempat menyebutnya Pantai Timbis, Pantai Kutuh, atau Pantai Melasti. Wisatawan menjulukinya Secret Beach karena lokasinya yang memang tersembunyi di balik perbukitan kapur. Belakangan, pantai yang terletak di Desa Kutuh, Badung, Bali, ini lebih dikenal dengan nama Pantai Pandawa, terutama pasca-berlangsungnya Pandawa Beach Festival pada 27 Desember 2012.
Selain diberkahi panorama yang elok, sejak tahun 1980-an, pesisir di kaki Timbis ini punya potensi ekonomi yang menjanjikan. Di sinilah tumbuh bisnis rumput laut yang hasilnya diekspor ke Tiongkok, walau hasilnya tidak terlalu berdampak signifikan pada kesejahteraan warga sekitar. Pada tahun 1999, sejumlah tokoh masyarakat tergerak untuk mengubah nasib masyarakat, dua di antaranya adalah I Nyoman Mesir yang saat itu menjabat Kepala Desa serta I Ketut Subrata yang berstatus Bendesa Adat Kutuh. Mereka bersama masyarakat secara swadaya berinisiatif membelah bukit kapur untuk membuka akses turis menuju Pantai Pandawa, sekaligus mempermudah transportasi petani ketika panen rumput laut.
Setelah akses terbuka, turis pun mulai berdatangan. Setiap bulannya ada sekitar 100.000 turis domestik dan 13.000 turis mancanegara memadati kawasan ini. “Karena pada tahun 2004 akses jalan memadai, mulailah tamu mancanegara datang untuk surfing. Setelah itu, mereka menyebut pantai ini sebagai Secret Beach,” ujar Mesir.
Selain selancar, aktivitas populer lain di sini adalah bermain kano. Tentu saja, berfoto juga digemari, terutama setelah masyarakat dan pemerintah setempat memahat patung-patung kelima tokoh Pandawa berukuran raksasa pada tebing kapur. “Tempat ini masih akan terus ditata. Salah satunya adalah rencana pembangunan monumen Pandawa serta panggung yang berada di atas tebing,” kata Mesir.
Ide membelah bukit kapur untuk mengais dolar itu mulai menunjukkan hasil. Secara perlahan perekonomian warga lokal meningkat. Tak lagi bergantung pada hasil tani, warga lokal juga mendapat berkah devisa dari kunjungan turis. Seiring dengan itu, peluang bisnis baru pun muncul. Lapak dagangan, parkir, restoran, dan vila bermunculan. Terbukanya akses turut membuka alternatif pekerjaan yang lebih beragam bagi warga.
Surga Paralayang
Bukit Timbis juga sangat termasyhur di kalangan penggiat paralayang. Bukit yang menghadap Samudra Hindia ini senantiasa diterjang angin dengan velositas yang stabil sehingga memudahkan ekspedisi udara menggunakan paralayang, termasuk untuk lepas landas dan mendarat.
Durasi mengudara paralayang juga cukup lama. Dari atap bukit setinggi kurang lebih 80 meter, penerbang dapat melayang hingga sembilan jam. Embusan angin di Timbis juga memungkinkan penerbang dapat melakukan manuver, contohnya memutar 360 derajat.
“Anginnya bagus, daya angkat glider oke, lokasi bagus, dan pemandangan dari atas juga sempurna. Ini tempat terbaik di dunia,” ujar Jovan Novac, penerbang asal Serbia, satu dari 96 penerbang yang mengikuti Kejuaraan Dunia Paralayang Ketepatan Mendarat (PGAWC) seri 3 Timbis Open pada 26-28 September 2014.
Selain sangat dicintai para gliders, sebutan untuk atlet paralayang, pada tahun 2009 Timbis mengukir sejarah dengan mendapatkan penghargaan Muri (Museum Rekor Indonesia) melalui ajang terbang massal yang melibatkan 99 penerbang paralayang dan gantole dengan durasi lebih dari sembilan jam. Dari tempat ini pula banyak atlet hebat dilahirkan, sebut saja Lis Andriana yang berhasil menyabet juara dunia di nomor ketepatan mendarat putri pada enam seri kejuaraan dunia paralayang.
“Ada sejumlah tingkat kesulitan yang menjadi tantangan buat para pilot di sini,” ujar Lis, yang sukses membukukan namanya sebagai pilot terbaik dunia pada putaran final PGAWC di Malaysia pada 16 Oktober 2013. Namun, menurut wanita asal Kalimantan itu, dari sejumlah spot di dalam dan luar negeri yang pernah dicobanya, Timbis tetap merupakan lokasi yang paling bagus untuk penikmat paralayang.
Menurut Sugiharto Prapto, Ketua Aero Sport Indonesia Daerah Bali serta Komandan Lanud Ngurah Rai, kesempurnaan Bukit Timbis di mata para penikmat olahraga paralayang harus dijaga sebagai aset, tak hanya oleh Bali, tetapi juga Indonesia. “Aliran angin di sini bisa membawa penikmat paralayang lepas landas dari bukit dan mendarat kembali di bukit. Di sini juga pernah digunakan untuk ASEAN Beach Games 2008 yang diikuti oleh atlet 18 cabang olahraga dari 42 negara Asia, salah satunya cabang paralayang,” ujar Sugiharto.
Bukan hanya para atlet yang bisa menikmatinya, paralayang kini mulai menjadi aktivitas wisata yang populer di Timbis. Seperti di Kawasan Puncak, Bogor, turis dapat menjajalnya dengan membeli paket terbang tandem. “Kami bekerja sama dengan sejumlah travel melayani wisatawan yang ingin terbang. Biayanya sekitar US$85, sudah termasuk sewa peralatan dan lain-lainnya,” kata Toni Susanto, Ketua Bali Paragliding Club.
Timbis di Ujung Tanduk
Sebagai aset pariwisata, Bukit dan Pantai Timbis merupakan dua unsur yang saling melengkapi. Sayangnya, eksistensi kawasan yang terletak sekitar 12 kilometer dari bandara ini tengah di ujung tanduk. Saat ini, sejumlah akses dari Desa Kutuh menuju bukit telah ditutup karena beberapa ruas lahan telah dimiliki para pengusaha properti. Kunjungan turis yang terus meningkat tertangkap radar bisnis para investor untuk segera membangun resor dan vila di kawasan tersebut. Menatap ke atas dua bukit yang dibelah jalan, kita dapat menyaksikan banyak vila pribadi bergandengan tangan di bibir tebing.
Menurut Sugiharto, keberadaan beberapa bangunan itu membuat aliran udara menjadi tidak alami, bahkan dapat mengganggu kegiatan paralayang di sana. “Kami sudah melayangkan surat kepada pemilik properti. Minimal mereka mau untuk mengubah bentuk bangunan agar tidak mengganggu airflow. Dengan adanya bangunan, angin jadi tidak alami, airflow rendah, bahkan turun,” kata Sugiharto yang juga Ketua Tim Penyelamatan Timbis.
Ia menambahkan, saat ini pihaknya sudah bertemu Pemerintah Provinsi Bali dan berharap lokasi paralayang terbaik di dunia tersebut bisa terus terjaga. “Kami sudah menemui wakil gubernur. Mari kita selamatkan Timbis. Peduli pembangunan itu mutlak, tetapi alam jangan dirusak,” ujarnya.
Kepedulian akan hilangnya surga bagi para gliders ini juga diutarakan Milawati Sirin yang pernah menyabet gelar di sejumlah kejuaraan dunia paralayang. “Saya berharap investor dapat memberikan kesempatan untuk memakai tempat ini sehingga bisa terus menjadi trademark paralayang di tingkat dunia,” kata Milawati.
Menurut Toni Susanto, yang merangkap Ketua Pelaksana Timbis Open 2014, animo para penikmat paralayang semakin bagus dan Bali menjadi lokasi paling favorit. “Dari beberapa seri kejuaraan, yang paling banyak mendapat peserta adalah seri di Bali. Saat itu, pihak panitia memberikan pilihan dua lokasi di dua negara, dan Timbis Bali yang paling banyak dipilih,” ungkap Toni.
Saat ini memang terlihat bahwa keasrian alam itu mulai terusik. Tak jauh dari lokasi lepas landas paralayang, tanah-tanah diratakan untuk memberi ruang yang nyaman bagi permukiman, vila, dan hotel. Terlihat juga betapa luar biasa besarnya pembangunan di kawasan perbukitan dengan penghancuran dan pengerukan tebing-tebing sehingga debu-debu mengangkasa. Kondisi itu memicu insan paralayang dan gantole Indonesia beberapa waktu lalu mengeluarkan sebuah petisi “Save Timbis” yang ditujukan kepada pemerintah daerah untuk menyelamatkan Bukit Timbis, “lapangan udara” favorit dunia.
Penulis: Nila Sofianty
KOMENTAR
0