Ingar-bingar kota tak akan dijumpai ketika bertandang ke negara monarki di kaki pegunungan Himalaya ini. Meskipun mahal, namun serunya bertualang seraya menikmati keelokan alam dan keragaman budaya masyarakatnya dapat membahagiakan Anda.
Oleh Bayu Hari
Untuk ukuran sebuah negara, wilayah Bhutan memang terbilang mungil. Luasnya kurang lebih 38.394 kilometer persegi dan hanya dihuni oleh penduduk yang jumlahnya kurang dari satu juta jiwa. Meskipun mungil, namun penduduknya ditengarai berbahagia. Berdasarkan Komite Kebahagiaan Nasional Bruto yang dibentuk pada 2008, dari total populasi, lebih dari 90 persen penduduknya merasa berbahagia.
Kebahagiaan itu bukan karena materi yang berlimpah, sebab Bhutan termasuk kategori negara miskin dengan GDP hanya US$2.500 per tahun, melainkan kebahagiaan masyarakat Bhutan datang dari kesederhanaan dan hati yang bersih. Mafhum, mayoritas penduduk Bhutan penganut agama Buddha yang taat.
Kehidupan sederhana masyarakatnya juga tak terlepas dari minimnya pengaruh dunia luar. Pasalnya, Bhutan dahulu merupakan negara tertutup, tak terkecuali untuk kunjungan turis. Baru pada 1974 turis yang bertandang disambut dengan tangan terbuka oleh Bhutan.
Selain itu, minimnya pengaruh dunia luar itu juga dipengaruhi oleh teknologi televisi yang baru diperkenalkan di Bhutan pada 1999. Sebelumnya, masyarakat Bhutan tak mengenal dan tak diperkenankan menonton televisi.
Kebijakan masa lalu pemerintah Bhutan untuk membatasi interaksi dengan dunia luar kini menjadi berkah. Kehidupan masyarakat yang sederhana, keasrian alam, dan kelestarian budayanya menjadi bahan baku Bhutan menjadi destinasi tujuan wisata premium.
“Pangsa pasar Bhutan memang bukan untuk travelers pemula karena dari sisi harga memang sangat berbeda. Mahal. Harganya sekitar Rp50 juta untuk 7-8 hari perjalanan,” kata Engelina Halim, Representative Office Bhutan ID Tour & Treks. Bhutan ID (Bhutan 168) merupakan wholesaler paket trip ke Bhutan yang telah beroperasi lebih dari dua dekade, dan telah membuka perwakilannya di Indonesia.
Menurutnya, saat ini minat orang Indonesia untuk pelesiran ke Bhutan mengalami peningkatan. Pada tahun ini misalnya, setidaknya tercatat ada sekitar 15 grup dengan total peserta sekitar 100 orang yang pelesiran ke Bhutan.
Petualang Dimulai Saat Terbang
Untuk menyambangi Bhutan, rute Singapura-Kathmandu (Nepal)-Paro (Bhutan) merupakan rute favorit dan juga direkomendasikan oleh Engelina. “Lewat Nepal kita akan disuguhi oleh pemandangan alam yang indah. Karena itu, biasanya agen menjual paket Bhutan dengan sejumlah destinasi di Nepal,” katanya.
Sejatinya petualangan menuju Bhutan dimulai ketika Anda akan mendarat di Bandara Internasional Paro. Dikelilingi oleh pegunungan bersalju dengan ketinggian sekitar 5.500 meter dari permukaan laut, bandara ini merupakan bandara yang paling berbahaya di dunia. Pilot yang mendaratkan pesawat di bandara ini harus memiliki skill bermanuver yang mumpuni dan memiliki sertifikasi.
Setiba di Paro, perjalanan berlanjut ke Thimphu selama kurang lebih 90 menit berkendara. Thimphu merupakan kota terbesar dan ibu kota Bhutan. Di sini terdapat beberapa obyek menarik yang dapat disambangi, semisal National Memorial Stupa, yakni bangunan stupa yang dibuat untuk menghormati raja ketiga Bhutan. Kemudian, ada juga Thimphu Fortress yang dulu dibangun sebagai benteng untuk melindungi Bhutan dari serangan Cina.
“Tempat itu kini digunakan sebagai kantor raja. Turis bisa ke sana pukul 18.00-20.00, setelah raja selesai bekerja,” kata Engelina. “Tempat menarik lainnya di Thimphu ialah Tallest Buddha Statue, yang memiliki tinggi sekitar 54 meter.”
Ibu Kota Lama
Dari Thimphu, perjalanan akan berlanjut sekitar 3 jam berkendara ke kota Punakha yang berada pada ketinggian 1.242 meter. Punakha awalnya merupakan ibu kota Bhutan, sebelum dipindah ke Thimphu pada 1955.
Ketika menginap di kota itu, wisatawan akan diajak untuk mengunjungi Donchu La Pass, gunung bersalju yang berada dalam kawasan pegunungan Himalaya. Donchu La Pass ini memiliki tiga pucuk yang masing-masing berada di ketinggian 3.100 mdpl, 3.140 mdpl, dan 3.150 mdpl.
Di Donchu La Pass terdapat 108 stupa kecil (3.050mdpl) yang dibangun untuk memperingati perang yang dimenangkan Bhutan. Menurut Engelina, dahulu ada pengungsi dari India yang ingin menguasai kawasan di Bhutan. “Terjadi peperangan yang berlangsung 108 hari dan menewaskan 98 prajurit Bhutan. Stupa itu merupakan bentuk penghargaan untuk para prajurit yang tewas dalam peperangan,” katanya.
Obyek wisata yang menarik lainnya di Punakha ialah Chimi Lhakhang, biara yang didirikan pada tahun 1499. Selain itu juga terdapat suspension bridge sepanjang 180 meter yang membelah sungai Po Chhu.
Lembah Paro
Usai bermain di Punakha, wisatawan dibawa kembali untuk bertualang di Paro untuk mengunjungi Tiger’s Nest. Menurut Engelina, Tiger’s Nest merupakan tempat yang wajib dikunjungi apabila bertandang ke Bhutan.
Namun, untuk menyambangi ikon pariwisata Bhutan ini butuh perjuangan. Lokasinya yang berada di lembah Paro di kawasan pegunungan Himalaya, wisatawan harus berjalan sekitar 3-5 jam untuk menuju lokasi yang berada di ketinggian 900 mdpl.
Meskipun demikian, biro perjalanan biasa menyediakan kuda poni untuk meringankan plus mempersingkat waktu tempuh. “Dari basecamp menuju Cafetarian (90 menit) bisa naik kuda poni. Tapi ada tambahan biaya, sekitar US$35. Dari Cafetarian perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki,” katanya.
Dari Cafetarian menuju Tiger’s Nest, wisatawan akan menuruni dan menaiki lembah Paro. Jumlah anak tangga yang harus dilalui berjumlah kurang lebih 1.000 anak tangga.
Usai trekking menuju Tiger’s Nest, wisatawan akan dibawa mengunjungi rumah tradisional penduduk lokal untuk rihat. “Di sini, turis bisa mencoba memanah, bersih-bersih, dan makan malam,” kata Engelina.
Sementara itu, selama menetap di Paro, wisatawan juga dapat mengunjungi obyek wisata lainnya semisal Museum Nasional Bhutan dan Cyichu Monastery. Setelah itu, kembali menikmati tantangan lepas landas dari Bandara Internasional Paro untuk pulang.
KOMENTAR
0