Pola pikir menganggap anak pintar main gawai adalah sesuatu yang membanggakan harus ditepis jauh–jauh. Beragam dampak anak kecanduan gawai, nyatanya, berpengaruh langsung pada mental dan perkembangan anak, hingga anak beranjak dewasa.
“Pola pikir beginilah yang salah. Gawai memang bermanfaat untuk perkembangan anak, tapi tidak boleh berlebihan,” kata Anissa Lutfi, Project Coordinator, dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (23/7/2021).
Menurutnya, harus ada aturan yang diterapkan orangtua. “Jangan sampai menjadi screen addict. Screen addict yang dimaksud adalah jika anak kecanduan menatap layar, baik ponsel, tablet, ataupun televisi.”
Anissa mengatakan, layar tidaklah statis sebab ada gambar yang terus bergerak. Hal ini yang menjadi candu bagi anak. Anak yang candu dengan gawai biasanya tidak suka membaca buku yang sifatnya visual statis.
“Sudah dipastikan anak yang memiliki hobi membaca punya konsentrasi yang baik jika dibandingkan anak yang kerajingan gawai,” ujar dia. “Belum lagi konten, permainan, atau tontonan yang kurang baik, hal ini yang seringkali memicu adanya kekerasan, bullying, dan beragam tindakan anak yang susah dikendalikan,” tambahnya.
Paparan tontonan dan permainan ini, lanjut dia, juga memicu anak jadi kurang memiliki rasa empati dan simpati terhadap lingkungan sosialnya. “Karena mereka dibuat enjoy dengan permainan dan tontonan tersebut, sehingga kata orang jadi lebih bebal.”
Sementara itu, tidur tidak nyenyak, nafsu makan berkurang, kurangnya motivasi belajar, menjadi lebih agresif, adalah beberapa dampak candu gawai. Orangtua baru sadar kalau sudah dampak ini terasa.
Orangtua, kata Anissa, harus tegas, tega mengurangi intensitas anak bermain gawai adalah jalan satu-satunya. “Jangan pernah berpikir, untuk membelikan anak gawai pribadi, batasi waktu bermainnya.” Dia pun menambahkan, untuk anak usia di bawah dua tahun agar jangan sampai terpapar gawai. “Di atas dua tahun batasi hanya satu jam sehari. Waktu-waktu tersebut termasuk bermain smartphone serta menoton televisi.”
Dia mengatakan, orangtua perlu awas pada anak yang kecanduan gawai. “Screen addict ini memang interaktif tapi polanya satu arah. Anak akan susah berinteraksi dengan lingkungan nyata. Jadi kurang empati dan simpati. Cuek dengan lingkungannya,” ujarnya.
Screen addict, lanjutnya, memiliki pengaruh jangka panjang. Orangtua harus tega dan siap menghadapi rengekan anak akibat aturan pembatasan gawai tersebut. “Seperti ini, batasi penggunaannya perhari. Bukan kurangi harinya, karena selalu ada efek balas dendam pada anak yang menerima aturan larangan main gawai pada hari sekolah. Mereka akan puas bermain di hari sabtu, minggu, atau di hari libur sekolah,” tuturnya.
Buat jadwal bersama anak, misalnya jadwal menonton atau bermain bersama. Orangtua merupakan role model anak di rumah. Mereka akan mencontoh orangtuanya. Karena itu, orangtua harus mengurangi penggunaan gawai ketika sedang di dalam rumah. “Minimal ketika pulang kerja sampai anak tertidur lelap,” ujarnya.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0