Di era digital, informasi sangat mudah dan cepat untuk diperoleh juga disebarluaskan, tak terkecuali hoaks. Menurut Ari Budi Wibowo, Kabid Kemitraan Siberkreasi, hoaks seringkali datang dari “katanya” dan bukan informasi valid karena terlalu sering di forward.
“Saat kita membaca sebuah informasi di internet dan tidak dibaca keseluruhan dengan seksama melainkan langsung menyebarkannya, hal tersebut akan berdampak negatif. Terlebih kalau informasi tersebut merupakan hoaks,” kata dia dalam Webinar Literasi Digital di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (29/10/2021).
Dampak hoaks, kata dia, bisa memicu kepanikan dan mengancam keselamatan diri, keluarga, dan lingkungan. Di tengah pandemi, hoaks bisa membuat masyarakat tidak taat protokol kesehatan, menyepelekan covid-19, hingga tidak mau divaksin.
Ari menuturkan, dalam satu hari terdapat 2-5 hoaks baru mengenai covid-19. Penyebaran tertingginya berada pada platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Hal ini karena media sosial menjadi sumber berita utama yang digunakan oleh masyarakat dibanding membaca portal berita atau tayangan berita di televisi. “Akhirnya hoaks itu menyebarnya di media sosial. Lebih dari 80 persen bahkan,” ujar Ari.
Menurut Ari, hoaks ini ada misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi itu merupakan informasi salah, tetapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa itu benar secara tidak sengaja. Disinformasi ialah informasi yang salah dan disebarkan secara sengaja oleh orang lain. Malinformasi ialah informasi yang benar tetapi digunakan untuk merugikan orang lain, organisasi, atau negara lain.
“Lalu apakah kita sebagai pengguna pernah menyebarkan hoaks? Mungkin secara tidak sengaja itu pernah,” kata Ari. Di era digital, lanjut dia, masyarakat masih kurang kritis, “jadi kita ada rasa tidak peduli apakah sebuah informasi hoaks atau bukan,” tambah dia.
Ari menuturkan, faktor lainnya karena kita hidup pada era post truth atau pasca kebenaran. Di era ini, kebenaran itu tidak dianggap, orang-orang akan mempercayai apa yang menurut mereka benar meski hal tersebut salah. “Kita perlu pilah pilih informasi dan mampu mendeteksi hoaks,” kata dia.
Ari memaparkan, hoaks pada umumnya menggunakan pemilihan kata yang janggal dan cenderung provokatif pada judulnya. Isinya menggiring opini publik dan sering tidak nyambung dengan judul berita. Kemudian, menggunakan kalimat sugestif seperti sebarkan atau viralkan informasi ini.
“Kalau kita ragu, pemerintah telah menyiapkan situs untuk cek dan tempat aduan jika menemukan hoaks. Laporkan hoaks ke aduankonten.id dan tidak akan diintimidasi oleh pembuat hoaks,” ujar dia.
Selain itu, kita juga bisa mengakses situs kom.info/inihoaks, hoaks.infovaksin.id khusus mengenai vaksin, turnbackhoax, atau cara paling mudahnya ialah mencarinya melalui mesin pencari.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0