Media sosial merupakan sarana paling efektif bagi orang yang ingin menyebarkan paham radikalisme. Pola penyebaran radikalisme melalui media sosial saat ini menargetkan anak muda.
“Maka anak muda menjadi sasaran empuk mudah terpapar radikalisme,” kata Rizal Afriansyah, Owner Remember Photography & Relawan TIK Kabupeten Mojokerto, dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (30/9/2021).
Rizal mengatakan, saat ini banyak bertebaran konten yang memuat cara-cara membuat bom, agitasi, rekrutmen, teknik penyerangan, teknik gerilya kota, maupun praktik langsung membuat bom yang tersebar di media sosial. Utamanya, kata dia, menyasar anak muda berusia 17-24 tahun.
“Padahal, banyak konten yang beredar di media sosial adalah hoaks. Masifnya penyebaran hoaks akan mempengaruhi jiwa anak muda yang labil dan tidak kritis, sehingga mereka melakukan langkah-langkah intoleren yang berujung pada tindakan radikal hingga mengarah ke terorisme,” tutur Rizal.
Maraknya konten radikal, kata dia, dikuatkan oleh survei yang dilakukan BNPT terbaru yang menyatakan 80 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme. Hal ini menjadi catatan serius mengingat generasi milenial cenderung menelan mentah-mentah informasi yang didapat, tidak melakukan cek, ricek, dan kroscek.
“Dan sikap intoleren ini biasanya muncul pada generasi yang tidak kritis dalam berpikir. Penyebaran radikalisme melalui media sosial menjadi menarik bagi generasi muda lantaran mereka berada pada usia yang rawan, butuh jati diri, dan eksistensi,” ujar Rizal.
Dalam melakukan penyebaran paham radikal tersebut, biasanya dibumbui dengan narasi nasionalisme, propaganda dikemas dengan narasi ketidakadilan, hingga pesan-pesan yang sifatnya ajakan maupun kesesatan pikir bahwa tatanan sosial saat ini perlu dibenahi.
Memaknai radikalisme sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham yang menginginkan adanya perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan, atau sikap ekstrem dalam aliran politik.
“Radikalisme adalah satu langkah pendek menuju terorisme. Sedangkan terorisme adalah tindakan kriminal yang didasarkan atas pemahaman radikal. Namun, pemahaman radikal tidak selalu menghasilkan aksi terorisme, tetapi aksi terorisme selalu berakar dari pemahaman atau ideologi radikal,” ujar Rizal.
Menurutnya, pemahaman agama yang parsial dan tidak kaffah bisa menjadi sebab masuknya radikalisme. Selain itu, pemahaman agama eksklusif, lemahnya semangat nasionalisme, rendahnya kepedulian masyarakat turut berpengaruh terhadap masuknya paham radikalisme.
“Sesungguhnya tak ada satu pun agama di dunia yang mengajarkan kekerasan. Meski begitu beberapa langkah antisipasi perlu dilakukan untuk mencegah radikalisme dengan meyakini bahwa Islam adalah agama yang Rahmatal lil alamin, tasamuh dalam media digital, menumbuhkan nilai cinta Tanah Air, mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam dunia nyata maupun maya,” tuturnya.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0