Indonesia memiliki jumlah penduduk besar diikuti dengan penggunaan internet yang tinggi. Apalagi, menurut Diding Adi Parwoto, Praktisi IT & Ketua LPM IAI Uluwiyah Mojokerto, populasinya didominasi oleh generasi milenial, generasi Z, dan generasi yang artinya Indonesia dalam beberapa tahun ke depan ada di tangan pemuda.
“Tantangan selanjutnya bagi para pemuda di era digital adalah bagaimana mereka bisa etis dalam bermedia,” kata dia dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Kamis (18/11/2021).
Keragaman pengguna internet, lanjut dia, membawa konsekuensi perbedaan dalam berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di ruang digital.
Diding mengatakan, survei yang dilakukan oleh Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan Indonesia merupakan warga digital yang tidak sopan se-Asia Pasifik. Hal ini menjadi tantangan lain mengapa dalam bermedia sosial dibutuhkan etika, khususnya dalam menyikapi informasi.
Dalam survei tersebut warga digital Indonesia menyikapi konten negatif seperti ujaran kebencian, hoaks, perundungan dengan tidak sepantasnya dan cenderung membuat mereka berperilaku tidak sopan. “Dalam mengakses internet, berinteraksi, berpartisipasi dan berkolaborasi itu pengguna perlu memiliki pengendalian diri. Yakni dengan etika dan netiket,” kata Diding.
Menurut dia, saat beraktivitas di internet harus sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati bersama dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana agar semua hal yang kita pikir, ucapkan dan dituliskan itu baik dan membaikkan atau menjadi baik.
“Salah satunya ketika menyangkut hak kekayaan intelektual (Haki),” kata Diding, realitasnya, hak kekayaan intelektual di era digital mudah sekali dibajak karena sulitnya membendung globalisasi modern dan mudahnya akses semua kebutuhan materi apa pun. “Akibatnya orisinalitas Haki sulit dipertahankan, terlebih proses pengurusan perkaranya cukup sulit dan lama,” ujar dia.
Semua hak kekayaan materi maupun non materi seperti hak paten, merek, hak cipta, rahasia dagang, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu itu berasal dari kecerdasan dan kepandaian manusia yang diberikan secara kolektif kepada seseorang. “Artinya, menggunakan karya orang lain tanpa seizin yang punya merupakan bentuk pelanggaran etika dalam bermedia digital,” ujarnya.
Untuk mempertahankan Haki menjadi milik pribadi, lanjut Diding, diperlukan yang namanya lisensi atau izin dari pemegang hak rahasia dagang kepada pihak lain melalui perjanjian. Tujuannya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dengan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat-syarat tertentu.
“Beretika dalam dunia digital menunjukkan watak kepribadian penggunanya, bersosialisasi dalam hidup merupakan watak bangsa. Jadi sudah sepantasnya bermedia digital juga diwujudkan dengan etika yang sebaik-baiknya,” ujar dia.
Terkait pentingnya menjaga diri agar tidak melanggar hak kekayaan intelektual di ruang digital, kata Diding, dapat dilakukan dengan beberapa langkah. Yakni, menggunakan foto, video, konten lain karya sendiri.
“Jika memang menggunakan karya orang lain, foto misalnya, pastikan untuk menerangkan sumber foto tersebut. Gunakan gambar, video, atau konten lain yang memiliki lisensi bebas pakai seperti di Freepik, Pixabay, dan lainnya. Atau langkah aman lainnya adalah dengan membeli konten dari situs penyedia gambar,” ujar Diding.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0