Tahun lalu, di tengah maraknya fenomena bencana alam, harga dollar yang melambung, dan minimnya dukungan pemerintah, empat sektor yang terkandung dalam unsur MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) berhasil membukukan grafik pertumbuhan positif. Pada tahun politik, optimisme pertumbuhan itu ditengarai bakal berlanjut.
Untuk mengetahui tantangan dan peluang di industri MICE pada tahun politik, Majalah VENUE mewawancarai Iqbal Alan Abdullah, Ketua Indonesia Congress and Convention Association. Berikut kutipan hasil wawancaranya dengan tim Majalah VENUE (Bayu hari, Nurdin Al Fahmi, dan Erwin Gumilar) di kantornya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pendapat Anda tentang keberpihakan pemerintah terhadap sektor MICE?
Ketika INACEB berdiri, Menteri menyatakan akan memberikan US$10 juta. Itu resmi dikatakannya. Selesai dia bicara, dia meralat, bukan tahun ini, tapi tahun depan. Tahun depannya juga tidak ada, sampai sekarang juga tidak ada. Di sini kita bisa lihat. Lain dengan Presiden, waktu itu memasarkan destinasinya (Solo) melalui MICE. Dia undang asosiasi, dia berikan subsidi, ada kerja sama antara pemerintah daerah dengan industri.
Dan tidak semua bisa di-digitalisasikan karena industri ini butuh sentuhan manusia. Apalagi bicara pariwisata, personal touch itu penting. Mudah-mudahan Menteri berikutnya bisa kembali berpihak. Saya juga bilang kepada teman-teman, siapa pun pemerintahannya, terpenting kita kompak. Karena siapa pun yang duduk di sana, kita tetap di sini.
Terkait dukungan untuk bidding event?
Berdasarkan pengalaman saya, yang mau ikut bidding mereka bersurat pada asosiasi atau pemerintah atau convention bureau. Ini memang harus didukung untuk bidding. Menurut saya, tidak hanya perlu didukung untuk bidding, seharusnya (untuk pemasaran) ada perwakilan-perwakilan di negara yang menjadi kantong MICE. Ada konsul jenderalnya.
Kantong MICE tidak sampai 20 negara sehingga bisa fokus. Misalnya ada di Wina, Swiss, Belanda, Inggris, Amerika. Toh kita ada kedutaan besar. Kalau Presiden bilang ke Menteri Luar Negeri, taruh satu ruangan untuk konsul pariwisata, ya tinggal ditaruh. Dan langsung dekat dengan pasar. Namun, ‘kan semua usulan yang disampaikan itu masuk tong sampah semua.
Dari sisi birokrasi dan anggaran, aturan sebenarnya pemerintah itu bisa memfasilitasi bidding?
Bisa dong. Apa bedanya pemerintah memfasilitasi bidding dengan beriklan di suatu negara, atau membayar jasa PR di luar negeri. Apa bedanya?
Sebenarnya ada menteri atau tidak, bisnis ini jalan terus. Kalau ada menterinya, sebenarnya kita mau ada kelipatan; kelipatan 3 atau kelipatan 5. Kalau sekarang pertumbuhannya organik saja.
Kalau Presiden sebenarnya berpihak pada MICE, hanya di bawahnya yang tidak bisa menerjemahkan. Kalau bisa, pertumbuhannya akan lebih dari sekarang ini.
Pendapat Anda tentang besarnya anggaran pariwisata terkait dengan pencapaian kunjungan turis?
Kalau dikomparasi, dahulu anggarannya berapa dan dapat berapa. Sekarang anggaran berapa dan dapat berapa. Hasilnya (sekarang) pasti minus.
Jumlah turis itu satu hal. Harusnya orientasinya devisa, itu yang penting, bukan hanya jumlah turis. Sekarang Anda mau disibukkan oleh turis 100 juta dengan devisa 100 juta, atau mengurusi turis 13 juta, tapi devisa yang didapat 100 juta.
Kita lihat negara lain, Singapura misalnya. Mereka bicara MICE, bukan leisure. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga. Nah, kita punya potensi jauh lebih besar, anggaran juga berlipat ganda, tapi dipakai untuk yang tidak saya mengerti.
Kalau belajar dari negara lain, apa yang mereka lakukan sehingga industri MICE-nya berkembang?
Negara lain itu untuk menggarap MICE, Thailand misalnya, mereka membentuk TCEB. Itu dijadikan motor yang dapat bekerja maksimal. Dia juga memanfaatkan kedutaan yang ada untuk membuka peluang masuk ke pasar di negara itu. Dan mereka digaji secara profesional, anggarannya besar.
Sebenarnya untuk mengembangkan MICE ini bisa dibuat sederhana, tinggal meniru apa yang negara lain lakukan. Banyak negara yang maju karena MICE, kemudian kita anggap mereka bodoh dalam berstrategi. Di negara lain, hampir di setiap kota ada convention bureau. Mereka agresif. Masa mereka kita anggap orang-orang bego semua, salah strategi.
(Selengkapnya baca Majalah VENUE edisi Februari 2019)
KOMENTAR
0