Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana tes PCR (Polymerase Chain Reaction) bagi wisatawan yang ingin melakukan perjalanan ke Bali. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19 saat libur natal dan tahun baru.
Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sebelumnya menyebutkan bagi wisatawan yang ingin ke Bali naik pesawat wajib melakukan tes PCR pada H-2 sebelum keberangkatan. Sedangkan wisatawan yang ingin melakukan perjalanan darat ke Bali wajib melakukan tes rapid antigen pada H-2.
Aturan tersebut tentunya merugikan para pelaku industri pariwisata di Bali yang memiliki banyak turunan. Pasalnya, banyak wisatawan yang akan pergi ke Bali meminta untuk membatalkan perjalanannya atau refund karena adanya aturan baru tersebut.
“Dari kemarin kami sudah disibukkan dengan komplain dari masyarakat yang mau pergi ke Bali, ternyata itu berasal dari permintaan PCR,” ungkap Hariyadi BS Sukamdani, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Berdasarkan data dari para Online Travel Agent (OTA), diketahui telah terjadi permintaan refund sebanyak 133.000 orang khusus tiket pesawat. Jumlah tersebut meningkat 10 kali lipat jika dibandingkan dengan permintaan refund di kondisi normal. Dari seluruh permintaan tersebut, jumlah uang yang menghilang berkisar Rp317 miliar. Seluruh data tersebut diperoleh pada 15 Desember 2020, dan khusus untuk pembatalan tiket ke Bali.
Tak hanya merugikan pelaku usaha pariwisata, pembatalan perjalanan ini juga memengaruhi terhadap perekonomian di Bali. Menurut Hariyadi, jika dihitung dampaknya terhadap perekonomian di Bali bisa mencapai Rp967 miliar. Padahal, pada kuartal III tahun 2020 pertumbuhan ekonomi di Bali sudah mengalami minus 12,28 persen.
“Ini tentunya memprihatinkan bagi masyarakat Bali karena mereka expect dalam satu tahun itu bisa festive dua kali, liburan pertengahan tahun dan di akhir tahun. Di satu sisi kami mendukung upaya pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Tetapi, di satu sisi ada faktor lain yang harus diperhatikan, yaitu ekonomi. Padahal, kami pelaku pariwisata sudah melakukan protokol kesehatan dengan sebaik mungkin,” keluh Hariyadi.
Oleh karenanya, ia meminta pemerintah untuk mengajak pelaku usaha pariwisata berdiskusi saat membuat sebuah kebijakan baru. Setelahnya, dibutuhkan sosialisasi terlebih dahulu kepada pelaku pariwisata agar dapat mempersiapkan segala halnya dengan sebaik mungkin.
“Paling tidak kami pelaku usaha industri pariwisata diajak bicaralah dan dimintai pendapatnya bagaimana. Tentu, kami akan memberikan pendapat yang obyektif dan memberikan pendapatnya dalam bentuk data yang sudah disiapkan,” jelasnya lagi.
KOMENTAR
0