Jakarta Convention Center (JCC) telah membangun reputasinya selama lebih dari 30 tahun sebagai ikon MICE Jakarta dan juga Indonesia. Banyak event bergengsi dan berstandar internasional digelar di JCC, mulai dari KTT Non Blok hingga KTT G-20. Namun, per 21 Januari 2025, PT GSP (Graha Sidang Pratama) selaku pengelola JCC mengumumkan bahwa operasional kegiatan MICE di JCC telah sepenuhnya berhenti total.
Hal tersebut menyusul terjadinya penutupan akses masuk, penggembokan pagar-pagar, serta penguncian semua pintu ruangan di JCC oleh Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK).
“Sebagai investor dan pengelola JCC, kami tidak bisa lagi menjalankan aktivitas MICE dan memenuhi kontrak dari para klien dan mitra bisnis yang sudah ditandatangani sejak awal 2024. Kami sangat menyesal dan menyayangkan situasi ini terjadi, apalagi langkah direksi PPKGBK mengambil alih paksa JCC dilakukan pada saat proses hukum sedang berjalan,” ungkap Edwin Sulaeman, General Manager JCC, pada 21 Januari 2025.
Menurut Edwin, pihaknya telah menerima pembatalan dari sejumlah klien, baik BUMN maupun swasta, sebagai dampak penutupan akses ke JCC. Akibat pembatalan itu, beberapa klien dan mitra bisnis JCC sudah memutuskan mencari venue di luar JCC. Langkah ini merupakan upaya dari para pelaku usaha tersebut untuk memperoleh kepastian bisnis, dan yang terpenting adalah mendapatkan layanan terbaik. Pasalnya, pihak PPKGBK memaksa para klien dan mitra bisnis yang selama puluhan tahun bekerja sama dengan JCC mengalihkan kontraknya ke Badan Layanan Usaha (BLU) tersebut.
“Kami menyerukan agar persoalan hukum ini tidak dijadikan alasan untuk merusak ekosistem MICE, yang berdampak besar pada ekonomi nasional, di mana setiap tahun industri MICE menyumbang sekitar Rp100 triliun, dan JCC berkontribusi 20-30%,” kata Edwin.
Secara aspek legal, Yosep Badoeda, Kuasa Hukum PT GSP, mengatakan, ada tiga original intent dari perjanjian kerja sama pada tahun 1991, yaitu membangun gedung, mengelola selama 30 tahun, dan perpanjangan.
“Ternyata setelah 30 tahun, PPKGBK menghentikan salah satu intent, yaitu perpanjangan pengelolaan dengan alasan mau mengelola sendiri. Artinya, melanggar kesepakatan di awal,” ujar Yosep.
Kronologis sengketa pengelolaan JCC antara PT GSP dengan PPKGBK bermula pada tahun 2022 ketika PT GSP mengajukan surat perpanjangan pengelolaan JCC ke PPKGBK karena kontrak pengelolaan akan berakhir pada 21 Oktober 2024.
“Pada tahun 2022 kita sudah mengajukan perpanjangan, makanya kita tetap terima orderan hingga 2025. Karena kita yakin, pada pasal 8.2 menyatakan bahwa ada opsi bisa memperpanjang pengelolaan,” ujar Edwin. “Tapi ternyata tidak digubris, baru ditanggapi pada Maret 2024 oleh PPKGBK bahwa tidak diperpanjang dan mereka ingin mengelola sendiri.”
Oleh karena itu, PT GSP mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta ganti rugi atas potensi kehilangan kerugian atau mendapat izin perpanjangan pengelolaan. Yosep mengatakan, selama proses hukum berjalan, pengadilan mengatakan bahwa semua pihak untuk tidak mengambil langkah-langkah lain yang berkaitan dengan obyek sengketa.
“Nyatanya, dilakukan penutupan akses secara paksa dan sepihak oleh pihak PPKGBK pada 31 Desember 2024. Akhirnya, semua kegiatan bisnis MICE terhenti,” ujar Yosep.
Yosep menegaskan pihaknya akan terus melanjutkan gugatan perdata atas pelanggaran pasal 8.2 perjanjian BOT yang telah disepakati PT GSP dan PPKGBK di tahun 1991. Sesuai klausul tersebut, PT GSP menjadi pihak pertama untuk melanjutkan perpanjangan kerja sama pengelolaan JCC. Namun, direksi PPKGBK tidak pernah menganggap pasal 8.2 tersebut dan hanya berpedoman pada pasal 8.1 kontrak kerja sama, di mana PT GSP harus menyerahkan aset BOT pada saat kontrak berakhir pada 21 Oktober 2024.
Dari aspek bisnis, Edwin mengatakan bahwa semua kegiatan MICE di JCC total terhenti semua yang dikelola oleh PT GSP. “Klien-klien dikontak ulang oleh PPKGBK. Mereka akan handle secara mandiri. Ada beberapa klien yang memutuskan pindah ke ICE dan Kemayoran. Banyak keluhan dari mitra bisnis yang meragukan apakah PPKGBK bisa memberikan standar service sama dengan JCC,” ujar Edwin.
Melihat proses yang berlarut-larut ini, pihak PPKGBK sempat menawarkan opsi kerja sama kepada PT GSP untuk menjadi vendor SDM yang mengelola JCC. Namun, hal tersebut ditolak oleh PT GSP.
Kondisi sengketa JCC ini berdampak buruk bagi industri MICE Indonesia. Pasalnya, JCC telah menjadi venue MICE yang prestisius dan favorit, terutama berkat lokasinya yang sangat strategis di pusat kota Jakarta.
Tak hanya itu, penutupan JCC secara paksa tersebut juga berdampak buruk terhadap kesejahteraan pekerja di JCC. Tercatat, ada 200 pekerja JCC yang harus “dirumahkan” karena operasional bisnis di JCC sama sekali tidak berjalan.
“Sampai saat ini pun kita tidak mendengar ada penyerapan karyawan oleh PPKGBK,” ujar Edwin.
KOMENTAR
0