Yori Antar: “Menghidupkan Kota Mati”

Monday, 18 January 16 Venue

Pasca-Indonesia merdeka, Soekarno memilih untuk membangun kota baru (Jakarta) dengan arsitektur modern berpola linear. Keputusan itu berdampak pada kawasan kota yang meluas dan hubungan dengan Kota Tua, yang awalnya menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda, terputus. “Kawasan Monas kemudian menjadi magnet baru. Kota Tua pun perlahan ditinggalkan,” kata Gregorius Antar Awal, atau akrab disapa Yori Antar, seorang arsitek.

Putra dari arsitek kondang Han Awal ini berpendapat bahwa bangunan peninggalan kolonial di Kota Tua sejatinya merupakan jiwa dari Jakarta. Jiwa itu sekarang hampir mati. Tak heran bila ia begitu bersemangat ketika dipercaya sebagai kurator lokakarya bertajuk “7 Projects for the City Exhibition” yang diselenggarakan oleh Jakarta Old Town Reborn (JOTR) dan Rumah Asuh pada 13 Juli hingga 15 Agustus 2015 di Erasmus Huis, Jakarta. Ia memimpikan “jiwa” Kota Tua kembali bangkit dan menjadi ikon Jakarta.

Lokakarya yang melibatkan empat arsitek Belanda (OMA, MVRDV, KCAP, dan Niek Roozen Landscape Architects + Wageningen University) dan tiga arsitek Indonesia (Han Awal & Partners + SHAU, Andra Matin Architects, dan Djuhara + Djuhara) menawarkan program untuk merevitalisasi enam bangunan dan sebuah lanskap di kawasan Kota Tua. Gedung yang dipilih Yori antara lain gedung Edi Sadeli, Kantor Pos Tua, kantor perniagaan milik VOC atau dikenal sebagai “rumah akar”, Gedung Samudera, Gedung Kolonial Kerta Niaga, dan Gedung Tjipta Niaga.

Dalam obrolan dengan VENUE, Yori banyak bercerita tentang impiannya menghidupkan kembali jiwa Kota Tua. Berikut petikan wawancara VENUE dengan Yori Antar.

Apa yang melatari kerja sama tim arsitek Indonesia-Belanda untuk membangun Kota Tua?

Sebenarnya saya di sini berfungsi sebagai kurator. Sementara yang memprakarsai acara ini adalah Daliana dan Diana Ang. Mereka mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan arsitek Belanda dan pihak Erasmus Huis. Kebetulan ayah saya juga seorang arsitek (Han Awal) yang banyak merestorasi bangunan-bangunan tua Belanda.

BACA JUGA:   Antheus, Strategi Taklukan Pasar Pemerintah

Kenapa melibatkan arsitek Belanda?

Arsitek yang diajak itu bukan arsitek biasa. Dari luar negeri (Belanda) ada sekitar empat arsitek. Mereka memiliki keahlian tersendiri, misalnya ada yang lihai dalam penataan lanskap. Pihak Belanda pun bersemangat karena Kota Tua merupakan bagian dari sejarah mereka. Makanya kami tidak mengundang arsitek dari negara lain.

Apa tugas Bapak sebagai kurator?

Tugas saya mencari lokasi-lokasi yang terbengkalai, bangunan yang terkadang sudah tak diketahui lagi pemiliknya, dan gedung yang sudah hampir ambruk. Sebelum ambruk, kami ingin memberikan inspiring idea. Targetnya memancing dan meminta perhatian pemilik bangunan, masyarakat, dan Pemda bahwa bangunan ini sudah sekarat sehingga perlu mendapat perhatian.

Kenapa Kota Tua ditinggalkan?

Dahulu, titik nol Batavia ada di Menara Syahbandar dan pasar ikannya. Itu merupakan water front terlengkap ketiga di dunia yang memiliki kepustakaan arsitektur art deco. Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang sampai sekarang masih terdapat kapal pinisi. Dahulu, dengan perahu layar, mereka membawa logistik ke penjuru nusantara. Perahu-perahu itulah kekuatan pelabuhan yang bersaing dengan kontainer yang masuk ke Tanjung Priok.

Namun, itu semua sekarang ditinggalkan: beralih ke kawasan Sudirman-Thamrin sehingga Kota Jakarta berbentuk linear. Kenapa berbentuk linear? Itu adalah ide Pak Soekarno: menarik Batavia menjadi ke dalam dan menjadikannya tidak terpusat. Dengan linear (sporadis), kota akan berkembang menjadi luas. Itulah yang sekarang terjadi di Jakarta.

BACA JUGA:   Tamam Wahana, Layanan MICE One Stop Shopping

Nah, magnet pusat yang lama ini ditarik ke Monas. Monas kemudian menjadi titik nol yang baru di masa pasca-kemerdekaan. Soekarno ingin sejarah Indonesia dimulai dari nol, yaitu dengan membuat kota berarsitektur modern.

Yori Antar

Bagaimana konsep pemanfaatan gedung-gedung tua tadi?

Menurut saya, bangunan tua itu sebenarnya dapat dimanfaatkan. Bangunan-bangunan ini dibangun dengan arsitektur yang dapat bertahan cukup lama sehingga mubazir kalau tidak dimanfaatkan. Bangunan-bangunan itu misalnya dapat dijadikan kompleks museum. Jadi, pelancong tidak terpencar dan harus membayar tiket berkali-kali bila berkunjung ke Kota Tua. Turis cukup sekali bayar tiket, dan mereka dapat masuk ke seluruh museum. 

Namun, tentunya hal ini tidak diberlakukan untuk semua museum: nanti bisa mati. Tingkat hunian juga perlu ada. Bahkan, sekarang kami harus bersaing dengan “kekuatan hitam” di sana. Gedung-gedung tua banyak difungsikan sebagai tempat perjudian dan pelacuran. Memang ring satunya aman (kawasan Taman Fatahillah), tetapi ring dua dan tiga tidak. Untuk memenuhi tingkat hunian itu, kafe, hotel, restoran, home stay, dan sebagainya dibangun di Kota Tua. Tak perlu fasilitas mewah seperti kolam renang, kawasan Kota Tua itu sudah merupakan fasilitas.

Bagaimana komitmen Pemda DKI?

Buat saya, yang menarik adalah pernyataan dari Pak Ahok. Dia bilang, “Siapa yang mau menyelamatkan bangunan tua dan menghidupkan kembali akan diberikan kemudahan dalam perizinan. Kemudian akan diberikan kemudahan dalam pajak, bila perlu akan turut dicarikan investor. Bagi yang tidak peduli, akan dikenakan pajak 10 kali lipat. Kalau masih bandel, akan disita bangunannya.”

Pernyataan itu sangat tegas dan memberikan pengaruh yang luas. Terbukti, setelah itu banyak pemilik bangunan yang menelepon saya. Sekarang jadi ketahuan siapa pemilik bangunannya.

BACA JUGA:   Karma Events, Agar Publik Percaya Karma

Gedung-gedung itu sudah ketahuan siapa pemiliknya?

Sudah. Memang ada yang bilang itu penuh konflik. Gedung-gedung itu dahulu pemiliknya semua orang Belanda. Setelah Belanda pergi, gedung-gedung itu diambil alih oleh tentara, kemudian dilelang, lalu dibeli oleh pemilik bangunan yang sekarang. Jadi, pemilik bangunan sekarang bukan keluarga asli dari pemilik gedung yang dulu.

Jadi, sekarang ini dapat dikatakan bahwa Pemda DKI punya keberpihakan yang kuat?

Ya, dia (Ahok) sangat kondusif. Dia setuju kalau bangunan-bangunan itu harus dihidupkan.

Berapa biaya investasi untuk merevitalisasi sebuah bangunan tua?

Sekitar Rp15 miliar. Bangunan tua itu kami pertahankan, kami hanya membuat struktur baru di dalam bangunan, tanpa merombak struktur yang lama. Keaslian dari bangunan tua itu harus dijaga, fungsinya pun harus mendukung kegiatan kreatif, budaya, dan pariwisata.

Apakah revitalisasi itu turut memerhatikan soal keamanan pengunjung ketika berada di bangunan tua?

Betul. Oleh karena itu kami melibatkan ahli geologi. Struktur bangunan juga memerhatikan pengaratan akibat rembesan air laut. Jadi, diperiksa lagi strukturnya, ambles atau tidak. Nah, hasil itu akan menjadi rekomendasi bentuk struktur bangunan yang baru: dipancang, dibeton semua, atau diapakan. Arsitek dapat mengkhayal, tetapi harus didukung oleh ahlinya sehingga bangunan itu bisa bertahan dalam waktu yang lama, termasuk seperti apa semen dan cat berdasarkan kelembapan yang ada.

Penulis: Bayu Hari