Pariwisata berkelanjutan mengedepankan unsur sosial dengan melestarian sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat. Untuk memastikan itu berjalan baik, diterbitkanlah Indonesia Sustainable Tourism Certification (ISTC) sebagai instrumen untuk mengontrol dampak sosial dalam pembangunan kepariwisataan di Tanah Air.
Peneliti senior bidang kepariwisataan Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Roby Ardiwidjaja, dalam FGD (Focus Grup Discussion) Analisis PESTEL yang berlangsung di Mercure Sabang Hotel Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2019) mengatakan pemberian sertifikat ISTC menjadi tanda bahwa destinasi pariwisata tersebut sudah menerapkan prinsip-prinsip kepariwisataan berkelanjutan.
“Destinasi yang mendapat ISTC, kalau dalam dua tahun tidak menjalankan prinsip pelestarian budaya dan lingkungan, bisa langsung dicabut,” kata Roby Ardiwidjaja
Sementara itu Dr. Heriyanti Ongkodharma, dari Universitas Indonesia menilai masyarakat pedesaan menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan ‘wajah kebudayaan’ masyarakat Indonesia.
“Pembangunan kepariwisataan harus menjaga dan melestarikan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, perlu diberlakukan ‘Amdal Budaya,’’ katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, bahwa tradisi lisan sebagai produk kebudayaan masyarakat menjadi salah satu daya tarik pariwisata. “Tradisi lisan menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan,” katanya.
Ia mencontohkan, salah satu keberhasilan sektor pariwisata Malaysia yakni karena sukses menggembangkan tradisi lisan Suku Dayak yang unik dan menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke negara bagian Sabah dan Serawak Malaysia.
Dari kacamata Prof. Dr. Janianton Damanik, dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, menilai pembangunan pariwisata telah menciptakan perubahaan ekonomi dan ekologi di lingkungan masyarakat.
Menurutnya, telah terjadi lompatan terlalu cepat sehingga banyak masyarakat setempat tidak siap, dari sebelumnya budayanya berbasis agraris kemudian harus cepat beralih ke budaya industri jasa.
People, Planet, Prosperity
Dalam berbagai kesempatan Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya menegaskan, pengembangan kepariwisataan berkelanjutan atau (Sustainable Tourism Development/STDev) mengacu pada standar global UNWTO dan GSTC (Global Sustainable Tourism Council).
Dalam standar GSTC mempertimbangkan tiga aspek utama yaitu aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi pada saat ini dan masa depan dengan pendekatan pada 3P (People, Planet, Prosperity) serta manajemen.
Pendekatan “people” sebagai upaya pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung, sedangkan “planet” untuk pelestarian lingkungan.
Sementara itu pendekatan “prosperity” sebagai pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, dan pendekatan manajemen sebagai tata kelola destinasi pariwisata berkelanjutan dengan mengedepankan semboyan “Semakin Dilestarikan, Semakin Menyejahterakan”.
Untuk menerapkan program STDev diawali dengan Sustainable Tourism Destination (STD), yaitu penerapan konsep pariwisata berkelanjutan di destinasi wisata yang dikerjasamakan dengan Pemda.
Kemudian, dilanjutkan dengan Sustainable Tourism Observatory (STO) yaitu pemantauan beberapa destinasi yang dikerjasamakan dengan 5 universitas yaitu destinasi Sleman (Yogyakarta) bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, Pangandaran (Jabar) dengan ITB. Kemudian Sanur (Bali) bekerja sama dengan Universitas Udayana, Sesaot (NTB) bekerja sama dengan Universitas Mataram, dan Pangururan Samosir (Sumut) bekerja sama dengan Universitas Sumatera Utara.
Selanjutnya, sustainable tourism certification (STC) merupakan rangkaian akhir dari keseluruhan program STDev tersebut.
Menurut Asisten Deputi Manajemen Strategis Kementerian Pariwisata Frans Teguh mengatakan, kegiatan FGD (Focus Grup Discusstion) Analisis PESTEL seri ketiga kali ini mengangkat isu sosial dan kepariwisataan.
”Kepariwisataan mempunyai keterkaitan erat dengan isu sosial,” kata Frans Teguh. Ia mengatakan, pada FGD pertama sebelumnya mengangkat isu ‘Teknologi dan Pariwisata’ dan berlanjut pada FGD kedua dengan tema “Lingkungan dan Kepariwisataan”.
Frans berharap, dari penyelenggaraan FGD ini diharapkan dapat dikenali, ditangani, serta dilakukan interaksi perubahan dari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap sektor pariwisata.
KOMENTAR
0