Perubahan Sistem Pembayaran dan Kemudahan Akses Perbankan Usaha Jasa Pariwisata

Thursday, 05 July 18 Venue

Oleh: Iqbal Alan Abdullah, Ketua Umum Indonesia Congress and Convention Association (INCCA)

Permasalahan  modal kerja dalam kegiatan usaha jasa pariwisata khususnya bidang Meeting, Incentive, Conference and Exhibition (MICE) dan perlunya peraturan baru untuk kemudahan pinjaman modal kerja terkait ketentuan dan tata cara pembayaran pada peraturan pengadaan barang/ jasa oleh pemerintah.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjukkan keseriusannya dalam pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Indonesia. Pajak penghasilan (PPh) final bagi UMKM yang semula 1 %  diturunkan menjadi 0,5 %. Bunga kredit usaha rakyat dari 22 % menjadi 7 %. Perizinan usaha dipangkas, dan apa yang disebut One Single Submission pun diluncurkan. Presiden Jokowi juga membangkitkan promosi produk dalam negeri dengan mengangkat produk lokal dengan mendatangi, membeli dan menggunakan produk-produk itu di depan publik. Termasuk dalam berbagai kesempatan memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk kreatif dan inovatif membangun bisnis. Keinginan Presiden Jokowi adalah dunia usaha kecil bisa melompat ke usaha menengah, dan usaha menengah bisa menjadi ke usaha besar.

Namun begitu, untuk dunia usaha yang bergerak dalam usaha penyelenggara Meeting, Incentive, Conference, Exhibition (MICE), terjadi sebaliknya permasalahan yang dihadapi ternyata jauh lebih kompleks. Dengan tidak adanya peraturan tentang kemudahan modal usaha untuk pelaku usaha jasa pariwisata khususnya dI bidang MICE sangatlah tidak pro-dunia usaha, hal ini dikhawatirkan perusahaan-perusahaan penyelenggaraan kegiatan MICE tidak hanya akan mengalami stagnasi pertumbuhan, tapi justru akan banyak yang gulung tikar terutama karena keterbatasan modal usaha atau modal kerja. Jadi jika Presiden Jokowi menginginkan usaha kecil melompat ke usaha menengah dan menengah melompat ke usaha besar, maka di industri MICE akan terjadi yang kecil tidak bisa besar bahkan menunggu mati. Kondisi yang sama tragisnya juga dialami oleh usaha travel agent.

Terkait permasalahan tersebut, jika kita merujuk  pada Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dukungan untuk pengembangan UMKM pariwisata sangat tegas diatur. Pada pasal 17 yang menyatakan sebagai berikut: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara: a. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan b. memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar.

BACA JUGA:   Operator Pariwisata Berbasis Ekoturisme Menghemat 10.000 Dolar

Kemudian pada Pasal 22 diatur pula hak setiap pengusaha, yaitu: a. mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan; b. membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan; c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan d. mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, landasan hukum bagi keberpihakan kepada UMKM dan koperasi bidang usaha pariwisata sudah sangat jelas dan tegas, dan kementerian wajib menjalankan amanah UU ini dengan sungguh-sungguh.

Tidak Adil dan Ancaman Asing

Sebagai contoh permasalahan tentang kendala modal kerja saya ingin memberikan uraian gambaran sederhana ini untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam praktik pekerjaan kegiatan MICE pada tender pengadaan barang/ jasa di kementerian/ lembaga, BUMN, pemerintahan daerah dan institusi terkait pemerintahan lainnya, katakanlah perusahaan Anda sebuah perusahaan penyelenggara MICE atau professional congress organizer (PCO) mengikuti tender lalu menjadi pemenang dan ditunjuk sebagai penyedia jasa, dan selanjutnya menandatangani kontrak kerja sama. Maka biasanya penyedia jasa melakukan persiapan penyelenggaraan kegiatan itu bervariasi ada yang 3 bulan,  atau 6 bulan bahkan ada 1 tahun sebelumnya. Pada tahap ini semua biaya persiapan sampai penyelenggaraan dibiayai dan ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan penyedia jasa PCO karena biasanya pembayaran pekerjaan akan dibayarkan seluruhnya/ sekaligus baru bisa dilakukan oleh pemberi kerja setelah penyelenggaraan kegiatan selesai dikerjakan.

Dengan demikian untuk urusan bridging ini, perusahaan MICE/ PCO tentunya membutuhkan modal yang tidak kecil, dan bisa dipastikan untuk perusahaan kecil atau bermodal terbatas akan berpikir panjang untuk ikut tender pengadaan barang/ jasa ini. Untuk tata cara pembayaran sebenarnya pada Peraturan Presiden tentang pengadaan barang/ jasa terbagi 2 (dua) cara pembayaran secara termin/ bertahap dan pembayaran secara sekaligus (lumpsum), akan tetapi untuk pembayaran secara termin/ bertahap dirasa oleh para pelaku usaha khususnya di bidang MICE/ PCO sangat menyusahkan dan menyulitkan karena syarat proses pencairannya membutuhkan modal  dan waktu panjang seperti contoh untuk mendapatkan pembayaran termin/ tahap pertama sebagai uang muka sebesar 20% pelaku usaha sebagai penyedia jasa wajib membuat jaminan uang muka senilai 20% dan dalam hal ini , pelaku usaha sebagai penyedia jasa wajib menaruh dan menyetor uang jaminan/ koleteral sebesar 20% dari nilai total pembayaran pekerjaan  ke lembaga perusahaan penjamin (asuransi/ bank) itu sebabnya perusahaan PCO sebagai penyedia tidak mau dan jarang mengambil uang muka ini. Contoh apabila nilai pekerjaan Rp.100 juta, maka kita harus beri ke bank 20 persen atau Rp20 juta selain jaminan uang muka perusahaan PCO sebagai penyedia juga diwajibkan membuat jaminan pelaksanaan sebesar 5%.

BACA JUGA:   Tur Memburu Gerhana

Jadi, dengan bridging pembiayaan para tahap persiapan sampai kegiatan berakhir, termasuk dengan ketentuan bank garansi tadi, membuat perusahaan PCO sangat kewalahan dan sulit untuk memenuhinya. Belum lagi jika dihitung dengan fee bunga selama waktu bridging, hal itu sangat memberatkan. Padahal margin untuk pekerjaan MICE ini berkisar 10-20 persen saja, dan tidak ada pula management fee seperti di perusahaan konsultan lainnya. Artinya jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan, maka tidak akan perusahaan PCO di Indonesia yang bertahan, dan tidak mungkin yang kecil akan menjadi menengah apalagi besar. Ini sekaligus mengundang bahaya yang sangat dikhawatirkan yakni masuknya perusahaan-perusahaan PCO asing yang memiliki kemudahan untuk memperoleh modal di negaranya.

Kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada penanaman modal asing (PMA) di Indonesia untuk pariwisata sampai 67 persen, usaha jasa ini bisa jadi akan digerus oleh asing. Jasa penyelenggara MICE itu bukan investasi untuk hotel yang memang kita beri karpet merah, tapi ini adalah perusahaan jasa yang bisa hanya membawa badan saja ke Indonesia. Orang Singapura misalnya, bisa menikmati pinjaman di negaranya dengan bunga 1-2 %, sedangkan di Indonesia 11-12 %. Dengan kemampuan akses kepada permodalan yang besar bukan tidak mungkin PCO luar ini juga akan menggarap pekerjaan ini di Indonesia. Dan kita akan kalah karena kita tidak punya kemampuan dalam permodalan.

Regulasi yang sangat ketat di Indonesia untuk kredit perbankan membuat dunia usaha MICE ini semakin tidak berkutik. Mereka harus memiliki jaminan aset. Tapi sehebat apakah UMKM di Indonesia dalam soal aset jaminan? Umumnya tidak memiliki dalam jumlah besar. Sebuah perusahaan PCO yang membutuhkan modal kerja untuk bisa menyelenggarakan kegiatan MICE pemerintahan baik pusat maupun daerah, lembaga negara, BUMN & BUMD yang sudah jelas kontraknya tetap sulit. Oleh karena itu diperlukan revolusi kredit modal kerja agar dapat meningkatkan perusahaan- perusahaan jasa UMKM.

BACA JUGA:   Tiga Perilaku Baru Wisatawan Pasca-Corona

Sebagai solusi, menurut saya, untuk usaha mikro, kecil, menengah apabila mendapatkan kontrak dari pemerintah diberikan kemudahan cukup dengan asuransi kredit dari Askrindo atau Jamkrindo atau lembaga penjamin lainnya, sebab toh perusahaan pemenang tender itu memiliki kontrak resmi, artinya uangnya jelas ada. Mengapa tetap harus ada jaminan aset yang diminta? Bahkan sering kali terjadi jaminan aset yang diminta minimal 130 % dari nilai plafon yang diberikan oleh bank. Bandingkan saja dengan perusahaan-perusahaan yang membangun jalan tol yang tidak perlu jaminan tapi cukup asuransi kredit. Jika ternyata perusahaan yang membangun jalan tol diberikan solusi seperti itu, mengapa untuk dunia usaha jasa pariwisata dan MICE yang ikut tender pemerintah tidak diberikan perlakuan yang sama? Sebenarnya dengan modal 50-60 % modal kerja yang diberikan sudah cukup meringankan beban pengusaha.

Kondisi seperti ini juga sangat dibutuhkan oleh perusahaan biro perjalanan wisata. Kita tahu pemerintah melakukan pembayaran terhadap pembelian tiket-tiket ke luar negeri, setelah perjalanan selesai dilakukan alias bukan bayar di depan. Setelah kembali pun proses penagihannya sampai 1 bulan karena mereka membutuhkan boarding pass. Artinya adalah pengusaha travel tadi menalangi pemerintah, sementara pihak airlines memberikan kredit itu hanya 2 minggu ke agen. Jadi jika diberi waktu 1 bulan berarti agen itu nombok, apalagi untuk pengajuan kredit ke perbankan atau garansi bank membutuhkan fix asset seperti rumah atau properti lain.

Jadi, sekali lagi, harus ada upaya dari pemerintah untuk melakukan perubahan dengan membuat peraturan baru untuk kemudahan pinjaman modal kerja bagi pelaku usaha di bidang MICE/ PCO dan serta dilakukan pengawasan dalam hal ini.

Jika tidak ada perubahan yang signifikan, maka harapan Presiden Jokowi untuk menjadikan usaha kecil menjadi menengah dan usaha menengah menjadi usaha besar tidak akan pernah terjadi di industri pariwisata khususnya MICE.