Cyberbullying adalah perundungan yang dilakukan melalui teknologi digital seperti sosial media dan layanan chatting yang menggunakan ponsel. Perilaku cyberbullying itu berulang dengan tujuan untuk menakuti, membuat marah, dan mempermalukan korban.
Menurut Ziadatul Hikmiah, Dosen Psikologi Universitas Brawijaya, perundungan siber ini ternyata memiliki beragam jenis. “Pertama, trolling yakni sengaja berkomentar untuk memicu amarah. Kedua, doxing atau menyebarkan informasi pribadi orang lain di media. Ketiga, exclusion atau pengucilan, dalam hal ini korban tidak dilibatkan dalam lingkungan pergaulan,” katanya dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Jumat (9/7/72021).
Selain itu, lanjut dia, ragam keempat yaitu harassment, gangguan secara terus menerus yang bersifat mengancam dan merugikan. Kelima, cyber stalking yakni penguntitan secara online, kebanyakan disertai dengan ancaman. Keenam, impersonating atau menirukan seseorang untuk merusak nama baik.
“Cyberbullying banyak terjadi di Instagram. Karena, dilihat dari fiturnya Instagram itukan mengunggah foto yang menampakkan visual. Jadi, mudah sekali orang untuk mengomentarinya,” tuturnya. Target cyberbullying, lanjut Ziadatul, yang paling banyak adalah mengenai penampilan seseorang. Selain penampilan ada juga akademik, ras, orientasi seksual, agama, dan status finansial.
Ziadatul mengatakan, ternyata kita pun bisa menjadi pelaku atau korban dari cyberbullying. “Melihat bullying bukan hanya dari satu sisi melainkan dua sisi. Sengaja atau tidak sengaja kita bisa menjadi seorang pelaku bullying.”
Alasan banyak pelaku melakukan bullying terhadap korban yakni, iri atau insecure dengan diri sendiri, menutupi kelemahan diri dengan melampiaskan kepada orang lain, dan ketidaktahuan yang menyebabkan kebencian. “Tidak suka pada orang asing merupakan salah satu human nature, kita cenderung berkumpul dengan orang-orang yang sama dengan kita. Sebaliknya, kita cendering menghindari orang yang terlihat berbeda dengan kita.”
Ziadatul mengingatkan, untuk menghindari diri menjadi seorang pembuli, maka sebagai pengguna internet harus selalu ingat adanya jejak digital. Jika ditemukan jejak digital tindak perundungan maka akan merusak reputasi. “Menggunakan empati kita terhadap orang lain agar tidak mem-bully sesama.”
Efek bullying pada korban, kata Ziadatul, akan menimbulkan depresi, kecemasan, minder, bahkan hingga bunuh diri. Agar tidak di-bully, kita memerlukan tindakan preventif yang dapat dilakukan dengan cara menciptakan lingkungan online yang positif, membatasi audiens atau followers pada media sosial, dan jangan menggunggah data pribadi ke media sosial.
Jika terjadi cyberbullying, lanjut dia, hal yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi perilaku dan pelaku bullying, membicarkan dengan yang bisa dipercaya (orangtua, guru, atau sahabat), mereport di media sosial bahkan jika mengancam keselamatan dapat dilaporkan ke pihak berwajib, dan mencari dukungan dan perlindungan dari orang lain.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0