Digital Civility Index (DCI) mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia menunjukkan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft tersebut, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk
“Dengan kata lain, paling tidak sopan se-Asia Tenggara,” kata Eka Rini Widya Astuti, Ketua Program Studi S1 Desain Komunikasi Visual ITSNU Pasuruan, dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Kamis (11/11/2021).
Menurut dia, ada tiga faktor yang memengaruhi risiko kesopanan netizen di Indonesia. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47%. Kemudian faktor ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27%. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13%, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu.
Kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna usia dewasa dengan persentase 68%. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada 2020.
“Tidak bisa dipungkiri penggunaan media sosial meningkat selama pandemi, termasuk di Indonesia, dan itu bisa berasal dari beberapa faktor,” ujar Eka Rini. Menurutnya, terdapat beberapa faktor yaitu:
- Ketidakpastian
Situasi pandemi yang tidak pasti, membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga, jika terjadi kesimpangsiuran dan banjir informasi, mereka akan percaya pada apa yang diyakini.
“Apalagi jika informasi berasal dari orang terdekat, tanpa melakukan cek dan ricek, akan langsung mem- forward apapun informasi yang diterima. Mata rantai informasi hoaks semakin panjang,” ujar dia.
- Kesulitan Ekonomi
Kesulitan ekonomi selama pandemi, menjadi penyebab naiknya kasus penipuan. Sebagian orang akan mencari cara untuk mendapatkan uang, meski harus menipu orang lain. “Banyak orang segera mewujudkan keinginan memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan bantuan, tanpa menyadari adanya kemungkinan penipuan,” lanjutnya.
- Respons Rasa Frustasi
Ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi. Selain menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional, ujaran kebencian dapat muncul dari dorongan untuk melampiaskan rasa frustrasi, “Harus ada yang disalahkan”. Dan siapa saja bisa menjadi sasaran.
“Apalagi dalam dunia media sosial, seseorang dapat menyembunyikan identitas diri sebenarnya, seperti menggunakan nama samaran. Sehingga, lebih berani melemparkan kata-kata yang tidak pada tempatnya untuk mem-bully pihak lain,” kata Eka Rini.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0