Kita harus tahu budaya-budaya digital apa yang seharusnya diadopsi dan dihindari. Tujuannya agar kehadiran dunia digital ini berdampak positif bagi kehidupan kita. Hal itu dikatakan Devie Rahmawati, Dosen Vokasi di Universitas Indonesia, dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (02/11/2021).
Menurut Devie, terdapat delapan budaya digital yang perlu diwaspadai. Pertama, palsu dan boros. Karena menurut para pakar, generasi digital ini menjadi generasi paling boros sepanjang sejarah. Hal ini bisa terjadi karena mengedepankan gaya hidup mewah, serta sikap FOMO (Fear of Missing Out).
Kedua, budaya tidak membumi karena dianggap egois dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Ketiga, budaya tanpa privasi yakni terlalu banyak oversharing di media sosial. Devie mengatakan hal ini terjadi karena sebagian pengguna ada yang terobsesi menjadi selebriti (celebrity). Keempat, budaya bising dalam sepi. Dalam budaya ini kita terlalu banyak mengonsumsi informasi, sehingga menjadi banyak berpikir dalam waktu yang singkat.
“Sebuah penelitian menunjukkan dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita diserbu dengan 4000-5000 pesan. Artinya kita diserbu dengan tsunami informasi yang membuat kita divonis menjadi manusia paling stress,” ujar Devie.
Kelima, budaya lemah hati yang dikenal dengan baper. Hal ini bukan budaya yang sepenuhnya sehat karena bisa didasari faktor iri hati. “Kita bisa menghindari budaya negatif ini dengan meminimalisir unfollow, unfriend, block untuk menghindari echo chamber dan filter bubble.”
Keenam, budaya tinggi hati atau pamer. Budaya ini bisa membahayakan, terlebih ketika apa yang dipamerkan merupakan data-data pribadi yang seharusnya disimpan. Ketujuh, budaya haus apresiasi dan dikasihani. “Apabila budaya ini tidak dikontrol, bisa jadi kita menjadi penyebar hoaks karena senang mendapat apresiasi karena mengetahui informasi paling pertama,” kata devie. Kedelapan, budaya sensasi dan kontroversi yang selalu ingin viral di era ini.
“Mari menjadi pribadi yang berprestasi, bukan hanya sebatas sensasi dan kontroversi. Kita harus menjauhi racun-racun di dunia digital. Contoh racunnya ketika kita dianggap sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara,” ujarnya.
Di samping tidak sopan, kasus bully di Indonesia juga termasuk yang paling tinggi. Biasanya karena urusan penampilan seseorang. Indonesia menjadi dikenal sebagai budaya yang marah, bukan ramah. Kita tidak boleh menganggap sepele kasus bullying verbal ini karena bisa menjadi pemicu seseorang mengakhiri hidupnya.
Oleh karena itu, kita harus menjauhi budaya negatif tersebut. Caranya, kata Devie, dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila, yaitu cinta kasih, kesetaraan, harmoni, demokratis, dan gotong royong.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0