Banyak founder perusahaan MICE di Indonesia yang kini memilih berada di balik layar, dan menyerahkan masa depan perusahaannya pada generasi kedua.
Apabila perhelatan Konferensi Asia Afrika pada 1955 menjadi titik nol perjalanan MICE nasional, industri MICE sejatinya sudah cukup matang. Setidaknya itu tercermin dari beberapa perusahaan MICE yang lahir pada tahun 80an dan 90an masih rajin menggelar pelbagai acara. Bahkan, ada juga yang telah melantai di bursa.
“Pada tahun 90an awal, pemainnya masih sangat sedikit, sekarang sudah banyak banyak,” kata Hosea Andreas Runkat, Ketua Umum ASPERAPI.
Salah satunya adalah Debindomulti Adhiswasti yang didirikan pada 2 Maret 1987 oleh Dwi Karsono, Effi Setia Budi, dan Budiarto Linggo Wiyono. Debut perdana Debindo waktu itu adalah pameran rumah interior yang diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta.
“Waktu tahun 80an, area bermain organizer masih sangat terbatas. Hanya ada gedung bunder (Balai Sidang) itu saja,” kata Effi.
Hampir empat dekade, Debindo berhasil mempertahankan eksistensinya. Tak hanya di Jakarta, Debindo juga membuka perwakilan di Surabaya dan Makassar. Bahkan, kinerja Debindo juga sempat dilirik oleh pemain internasional, ITE Group dari Rusia. Pada 2014, ITE Group kemudian mengakuisisi 50 persen saham Debindo.
Kini, Effi dan dua pendiri Debindo lainnya tak lagi aktif menjalankan roda bisnis perusahaannya. Kegiatan bisnis perusahaan dijalankan oleh anak-anak mereka.
Effi telah menyiapkan putranya, Raditia Zafir Ahmad, untuk meneruskan perusahaan yang dibangunnya sejak lama. Tak langsung menduduki posisi manajerial, karir Raditia di Debindo dimulai pada tahun 2014 sebagai staff operation, bagian promosi, publikasi, media sosial, sales, hingga finance.
“Sekarang sudah masuk ke semuanya. Saya arahkan, percayai, dan awasi. Bener dilepas itu setelah pandemi,” kata Effi.
Hal serupa juga dilakukan oleh Sukur Sakka yang mendirikan Wahyu Promo Citra pada sekitar tahun 1988. Ia telah sejak lama mengikutsertakan anak-anaknya dalam kegiatan bisnisnya.
“Nah, di tahun 2008, saya sudah mulai develop satu pameran bersama kakak saya. Tetapi, karena basic saya di multimedia, jadi saya biasa di belakang panggung. Tetapi, 2016, kakak saya meninggal dunia,” kata Satrio Sukur, Project Director Wahyu Promo Citra.
Kemudian, pada 2017, ia pun menggantikan peran kakaknya, “Saya sudah mulai diminta direct dan develop semua event yang ada di perusahaan,” katanya.
Bagi Satrio, banyak tantangan yang harus dihadapi ketika menjalankan perusahaan yang diwariskan oleh bapaknya. Mafhum, perusahaan organizer pameran semakin banyak, dan masing-masing menguasai pasar di sektor atau industri tertentu.
Lantaran sudah didik oleh sang ayah sejak duduk dibangku kuliah, Satrio pun telah memahami business process di industri pameran. Terpenting adalah dapat menghadirkan program bagus yang dapat mendatangkan banyak peserta dan pengunjung di dalamnya.
Selain Debindo dan Wahyu Promo Citra, sejatinya ada beberapa perusahaan pameran lain yang juga sudah berada di tangan generasi kedua, seperti Napindo Media Ashatama, AdHouse Clarion, dan PT Okta Sejahtera Insani.
Hal serupa juga terjadi di perusahaan penyelenggara meeting dan convention. Muhammad Reza Abdullah, Direktur Utama Royalindo, mengaku sudah menjadi tenaga freelance di event yang diselenggarakan oleh kedua orang tuanya, Iqbal Alan Abdullah dan Evita Nursanty.
“Saya mulai ikut freelance itu sejak kuliah, sekitar 2001. Jadi kalau lagi libur, ikut event. Dulu kan saya kuliah di Australia,” kata Reza.
Reza menjelaskan, Royalindo didirikan orang tuanya pada 1989. Dan ketika pulang ke Indonesia pada 2005, ia mengaku tidak langsung bergabung dengan tim Royalindo, melainkan ditaruh di anak perusahaan yang bernama Team Asia.
“Awalnya, saya di situ, handle event-event kecil. dan membantu Royalindo jika ada event besar. Itu jadi ajang pembelajaran juga buat team asia,” kata Reza yang kemudian dipercaya menduduki posisi Direktur Utama ketika masih berusia 27 tahun. “Benar-benar dilepas total itu tahun 2012. Tapi sampai sekarang juga masih sering diskusi dengan mereka, terutama dengan bapak.”
Perusahaan MICE lainnya adalah Pacto Tours yang didirikan oleh Hasyim Ning pada 1967, dan kemudian diteruskan oleh anaknya Raty Ning. Dalam perkembangan bisnisnya Pacto Tours melahirkan sebuah anak perusahaan, Pacto Convex, yang kini menjelma sebagai perusahaan PCO terbesar di Indonesia.
“Pacto Convex itu resminya 1992. Tapi kita sudah ada sejak tahun 1986, masih divisi Pacto Tours. Kongres pertamanya itu Congress International Society of Sugar Cane Technologist pada Agustus 1986 di Jakarta,” kata Susilowani Daud, Direktur Utama Pacto Convex.
Pengalaman Pacto Convex menyelenggarakan kongres internasional memang terbilang panjang. “Dari KTT Non Blok 92, itu Pacto. Sampai sekarang, ASEAN Summit masih Pacto,” kata Susilowani.
Menurut Susilowani, salah satu event besar dan kompleks yang pernah ditanganinya adalah Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada 2007 yang dihadiri lebih dari 10.000 delegasi. “Tapi kalau yang besar, dalam arti duitnya, ya G20 tahun 2022,” katanya.
Sementara itu, generasi kedua di bisnis MICE nasional juga tak hanya mampu bertahan, melainkan mampu memperbesar skala bisnisnya. Tengok saja Dyandra Group yang saat ini melantai di bursa. Pada kuartal III tahun 2023, Dyandra berhasilkan mencatat pendapatan sebesar R880,9 miliar, meningkat 40 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Eksistensi para perusahaan MICE untuk bertahan dan memperbesar skala bisnisnya itu boleh dibilang merupakan bukti bahwa industri MICE nasional terus bertumbuh, dan masih memiliki peluang menjanjikan di masa mendatang.
KOMENTAR
0