Meski Jember bukanlah kota fashion layaknya Paris, berkat penyelenggaraan Jember Fashion Carnaval (JFC), kota kecil di Jawa Timur itu menjadi diperhitungkan sebagai ikon karnaval fashion kelas dunia.
Jember Fashion Carnaval (JFC) telah diadakan 16 kali sejak diinisiasi tahun 2000 oleh seorang putra daerah yang cemerlang. Adalah Dynand Fariz yang memulai JFC hanya sebagai bentuk perhelatan keluarga, siapa sangka telah memperjuangkan JFC hingga ke puncak prestasinya. Tak hanya mengharumkan namanya sebagai fashion designer kostum-kostum terkemuka, tapi juga sekaligus mengharumkan Jember yang merupakan kota kelahirannya.
Demi mengukuhkan keberadaan JFC ke-16 yang digelar pada 9-13 Agustus 2017 lalu, majalah VENUE bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata mengadakan JFC Conference yang bertajuk “Dari JFC Untuk Dunia”. Bertempat di Sapphire Room Aston Hotel & Conference Center Jember, JFC Conference dibuka secara resmi oleh Taufik Rahzen (staf khusus Bidang Budaya Kementerian Pariwisata), Silvia Hilda (Ketua DPD Asosiasi Karnaval Indonesia Provinsi Kepulauan Riau), Monalisa (praktisi MICE), Nurdin Al Fahmi (Manajer Pengembangan Bisnis VENUE), serta tak ketinggalan Dynand Fariz (Presiden JFC). Pembukaan JFC Conference ditandai dengan pemukulan gong yang menggema di seluruh ruangan.
Taufik Rahzen, yang juga dikenal sebagai budayawan, dalam sambutannya banyak mengajak audiens untuk berefleksi dan kembali menekuri jejak-jejak sejarah bernama JFC.
“JFC dirintis tahun 2000, hanya dua tahun dari proses reformasi. Saat itu semua turun ke jalan. Tapi, JFC mengubah parlemen jalanan menjadi parlemen budaya. Dan itu tidak terjadi di mana-mana di dunia. Bayangkan, apa yang terjadi kalau tidak ada JFC di Indonesia?,” ujar Taufik.
Menurut Taufik, JFC berhasil menciptakan gelombang positif dari jalanan yang menjadi persoalan sangat sensitif pada masa itu. Dynand Fariz dikatakan berhasil mentransformasikan kegiatan politik menjadi kegiatan budaya.
Apa yang dikatakan Taufik mendadak menjadi begitu magis dan terasa betul perjuangannya saat Dynand Fariz, sang Presiden JFC, tampil untuk memberikan sambutannya di atas panggung. Dari kerut-kerut mata dan wajahnya, bisa disimpulkan akumulasi kerja keras yang selama ini dilakukannya.
Pagi itu, tak ketinggalan, Dynand Fariz juga membawa serta beberapa talent yang mengenakan kostum-kostum berprestasi tingkat dunia, sebut saja Best National Costume di ajang Miss Tourism International 2016 di Malaysia yang bertema “Betawi” dengan warna-warninya yang ceria. Tak ketinggalan ikut diboyong kostum bertema “Borobudur” yang juga sukses meraih Best National Costume di ajang Miss Universe 2015 di Florida, Amerika Serikat.
Salah satu talent yang berpartisipasi bahkan ada seorang siswi yang masih duduk di bangku SMA. Inilah salah satu kelebihan JFC, ia diciptakan oleh creative minority yang awalnya berbasis keluarga kemudian meluas hingga dimiliki oleh seluruh warga Jember yang ingin berpartisipasi, lalu diekspor ke belahan dunia lainnya.
Pengembangan Potensi Wisata Nusantara
Dalam sesi talk show pertama yang menghadirkan Taufik Rahzen dan Silvia Hilda dengan tema “Pengembangan Potensi Wisata Nusantara”, Silvia sempat kembali ke masa lalu saat dirinya bosan dengan perkembangan dunia modelling dan fashion yang stagnan. Sampai akhirnya ada perhelatan JFC, dan betapa besar keinginannya untuk menimba ilmu dari Dynand Fariz. “Kira-kira bayarnya berapa, ya? Mahal, gak, ya?,” ujar Silvia.
Sampai kemudian jalannya terbuka. Silvia didukung Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau berhasil mewujudkan keinginan belajar dari nol di Jember, hingga ia dan kawan-kawannya bisa menciptakan berbagai kostum indah, mengikuti perhelatan JFC untuk memperkenalkan Batam dan Kepulauan Riau, sampai menggelar event yang terinspirasi oleh JFC.
Taufik mengatakan, Jember punya kekuatan seperti Bali yang menjadi destinasi terbaik di dunia bila melihat JFC dari konteks budaya.
“Sayangnya, meskipun banyak institusi pendidikan di Jember, belum ada yang mengangkatnya sebagai wacana studi. Kalau dikaitkan dengan aktivitas literasi, sebenarnya anak-anak sekolah bisa langsung belajar dari kostum-kostum yang ditampilkan. Cultural literacy, belajar tentang budaya daerah, pakaian adat, dan lain-lain secara visual. Sekarang tidak bisa hanya dengan teks,” ujar Taufik.
Jika Jember akan dijadikan destinasi khusus, menurut Taufik, sebaiknya pemerintah daerah harus melihat ini sebagai aset terpenting, bukan lagi komplemen.
Adakan Juga Secondary Event
Pesan itulah yang disampaikan Yuswohady, salah satu praktisi marketing yang juga pernah bergabung di MarkPlus Institute, saat memaparkan tema “How To Make A Carnival City” di talk show sesi kedua JFC Conference. Customer, product, dan marketing strategy adalah hal-hal yang perlu menjadi fokus saat Jember akan menuju status menjadi kota karnaval internasional.
Yuswo mengatakan, yang perlu digarisbawahi jika sudah ada primary event adalah memerhatikan timeline yang sesuai dengan segmen pasarnya, dan jangan lupakan untuk memikirkan konsep secondary event-nya sehingga branding karnaval tetap melekat. Selain itu, ekosistem yang mencakup sinergi antar-kepala daerah dalam mempromosikan destinasi wisata juga sangat penting dilakukan. Bukankah kolaborasi lebih berenergi daripada kompetisi?
Apa yang disampaikan Yuswo Hady senada dengan penuturan Monalisa, praktisi MICE yang berasal dari Jember dan juga mengampu beberapa mata kuliah di STP Trisakti dan Universitas Bina Nusantara.
“Masyarakat Jember perlu untuk membuka hati, jiwa, dan pikiran bahwa ada banyak yang harusnya bisa dimunculkan untuk mengiringi penyelenggaraan JFC ini. Misalnya membuka pintu rumah lebar-lebar untuk dijadikan homestay, membuat paket perjalanan atau konferensi yang di dalamnya ada suguhan menonton JFC, atau membuka peluang usaha travel dan sebagainya supaya multiplier effect-nya terasa,” ujar Monalisa.
Semoga apa yang dikatakan Taufik Rahzen di awal acara, bahwa Dynand Fariz ingin membangun kebudayaan Jember tidak pada masa lampaunya, tapi pada masa depannya, benar-benar terwujud dengan dukungan seluruh masyarakat Jember yang mencintai tanah kelahirannya. Pun dukungan dari seluruh dunia.
Penulis: Prita HW
KOMENTAR
0