Meskipun asa mengembangkan industri MICE mengalami pasang surut. Tapi semua sepakat bahwa potensi industri ini sangat besar dan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejarah perkembangan industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) di Indonesia tak luput dari peran Joop Ave, tokoh pariwisata, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi pada awal 1990-an. Ketika itu, ia menyadari besarnya potensi bisnis MICE untuk dikembangkan di Indonesia.
Kemudian, ia menginisiasi aturan tentang perusahaan di bidang jasa MICE. “Pa Joop yang membuat juklak untuk jasa MICE. Peraturan pemerintah tentang MICE keluar pada tahun 1991,” kata Adjat Sudrajat, satu dari enam orang yang diminta Joop Ave untuk membantu menyusun juklak MICE.
Bisnis MICE pun tumbuh cepat. Organizer baru bermunculan, dan kegiatan MICE kian ramai.
Tapi sayang, menteri setelahnya tidak atau kurang melihat potensi MICE sebagai penggerak perekonomian nasional. Baru pada 2005, ketika Jero Wacik menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, lahirlah direktorat MICE.
Saat itu, posisi industri MICE Indonesia di kawasan ASEAN berada di peringkat empat, setelah Singapura, Thailand, dan Malaysia. Adapun anggaran yang disiapkan untuk direktorat MICE sekitar Rp20 miliar dengan total staff berjumlah 25 orang.
Potensi industri MICE sebagai penopang perekonomian nasional juga dilihat oleh menteri berikutnya, Mari Elka Pangestu. Bahkan, di eranya, ada dua direktorat yang mengurusi MICE.
Hal itu dilakukan Menteri Mari Pangestu, sekitar lima bulan setelah ia duduk di kementerian yang mengurusi pariwisata dan ekonomi kreatif. Berman Lubis, direktur MICE lama, dipindahkan. Diangkat Achyaruddin sebagai direktur Pengembangan Wisata Minat Khusus, Konvensi, Insentif, dan Event (KIE), berinduk pada Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata. Dan, Nia Niscaya digantikan oleh Rizki Handayani sebagai direktur Promosi Konvensi, Insentif, Event, dan Minat Khusus, berinduk pada Direktorat Jenderal Pemasaran Pariwisata.
Dua direktorat itu mengurusi MICE dari sisi yang berbeda. Direktorat yang dikomandoi Achyaruddin, bertugas mengembangkan potensi wisata minat khusus dan KIE, menciptakan produk yang layak jual, dan mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan KIE di daerah masing-masing. Sedangkan direktorat yang dipimpin oleh Rizki Handayani, bertugas untuk mempromosikan destinasi MICE tersebut.
Keberadaan dua direktorat itu diharapkan Mari Elka, mampu mendongkrak jumlah kunjungan turis MICE ke Indonesia. Pasalnya, turis MICE ditengarai mempunyai spending 3-4 kali lebih besar dari leisure, memiliki lama tinggal lebih lama, dan kegiatan MICE berskala internasional merupakan ajang promosi yang efektif bagi Indonesia di kancah dunia.
Alih-alih, ketika Arief Yahya menjadi menteri, kedua direktorat yang mengurusi MICE itu dinonaktifkan. Tak jelas apa alasannya. Tapi, meskipun tak ada lembaga khusus yang mengawal, industri MICE tetap menunjukkan grafik positif.
Angin segar kembali bertiup pada 2019, ketika Wishnutama menjadi menteri, direktorat MICE kembalikan diaktifkan, berada di bawah Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Events). Dan, Masruroh dipercaya untuk memimpin direktorat MICE yang sempat mati suri itu.
Sayang, angin segar itu tak berhembus lama. Saat Masruroh hendak menjalankan program-programnya, COVID 19 menghampiri Indonesia pada Maret 2020. Dan kemudian menjadi momok dunia selama kurang lebih dua tahun, yang membuat bisnis MICE mati suri.
Pada saat Sandiaga Salahuddin Uno menjabat sebagai menteri, MICE menjadi salah satu program unggulan. Hal itu sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk menjadikan event sebagai sektor terdepan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi.
Menurut Masruroh, sejak 2022, pengembangan sektor MICE dibantu oleh Deputi Bidang Kebijakan Strategis. “Mulai 2022 kita tidak sendiri. Tapi bersama dengan D1 yang memotret besarannya, kemudian dijabarkan pada unit kerja. Ketika pada tahap pencapaian strategi, dikerjakan bareng,” kata Masruroh.
JIka pada masa pandemi, Masruroh disibukkan dengan penyusunan protokol kesehatan penyelenggara kegiatan MICE. Pada 2022, ketika pandemi usai, penyusunan program subvention menjadi perhatian Masruroh guna mempercepat akselerasi pemulihan industri MICE.
“Pada subvention itu, kita mengembalikan pemerintah itu pada fungsinya, sebagai regulator dan fasilitator. Support berupa dinner, tour, sebagian masih kita yang handle, tapi sebagian lagi kita serahkan ke daerah yang jadi tuan rumah. Akhirnya sudah terpola. Jadi kalau ada asosiasi yang minta support, kita akan support kemudahan imigrasinya, bea cukainya, supporting letter untuk bidding dan mencari sponsor,” katanya.
Selain itu, untuk memasarkan industri MICE nasional, direktorat MICE juga melakukan pendampingan bidding bersama asosiasi, delegate boosting, dan mengikuti kegiatan trade show. Melakukan serangkaian upaya itu, direktorat MICE diharapkan mampu berkontribusi sekitar 20 persen dari total kunjungan wisman ke Indonesia.
KOMENTAR
0