Bisnis penerbangan bukan semata soal layanan maskapai yang oke, baik dari sisi fasilitas pesawat hingga ketepatan jadwal. Popularitas maskapai juga kian bersinar bila didukung ground handling yang piawai.
Ketika area bandara dimonopoli perusahaan pelat merah, PT Jasa Angkasa Semesta (JAS Airport Services) menjadi yang pertama dari kalangan partikelir. Namun soal keandalan, JAS terbilang mumpuni. Perusahaan yang berpengalaman selama 33 tahun dalam mengurus ground handling ini mampu memberikan pelayanan prima. “Pemain ground handling itu banyak, namun hanya ada dua besar, yakni Gapura Angkasa dan JAS. Lainnya pemain kecil dan bermain di daerah,” kata Adji Gunawan, Presiden Direktur JAS Airport Service.
JAS didirikan pada 1984, lalu setahun kemudian mereka beroperasi dan mencoba menangani maskapai internasional. Di pertengahan 1980-an, JAS menangani lima maskapai internasional: Singapore airlines, Lufthansa, Malaysia, Cathay Pacific, dan Saudi Arabian Airlines. Sampai tahun 2017, klien JAS seluruhnya mencapai 35 maskapai penerbangan internasional dan domestik. JAS pun melakukan lompatan kuantum dengan berbisnis kargo dan perhotelan di 13 bandara besar di seluruh Indonesia.
“Agar klien yakin terhadap kualitas JAS, kami mengikuti standar internasional mereka, mulai dari check in hingga pengambilan bagasi. Para klien mengirimkan tenaga technical assistant untuk transisi standar tersebut, dan kami mengirimkan staf untuk mengikuti pelatihan,” ujar Adji.
Langkah JAS kian tegap. Pada 1989, mereka keluar Jakarta untuk menggarap layanan darat bandara lain. Pasalnya, maskapai yang memiliki standar tersendiri ingin dilayani sesuai keinginan mereka. “Saat Singapore Airlines melayani rute Denpasar, kami yang diajak kerja sama, karena sesuai standar mereka,” kata Adji. Dua tahun kemudian, setelah berbisnis di Denpasar, JAS membuka usahanya di Surabaya.
Kekokohan bisnis JAS sempat goyah pada 1998-1999 ketika krisis moneter melanda Indonesia. Pada waktu itu banyak maskapai penerbangan internasional juga turut menyusut karena investasi asing melemah di Indonesia. Namun, nasib JAS tak buruk-buruk amat. Pasalnya, pemasukan dalam bentuk dolar, sementara pengeluaran operasional menggunakan rupiah, JAS bisa bertahan dalam keadaan sulit.
Keandalan JAS dalam bisnis penerbangan internasional diakui pula oleh pemerintahan asing. Perusahaan yang memiliki 3.800 karyawan ini kerap ditunjuk negara sahabat untuk menangani ground handling para tamu VVIP, termasuk rombongan Raja Salman dari Arab Saudi. Selanjutnya, Perdana Menteri Turki, Binali Yıldırım, yang mengunjungi Indonesia dengan tiga pesawat. Juga tamu-tamu negara dari Filipina, Rusia, hingga Ukraina. Sementara yang di Bali, JAS juga pernah menangani kedatangan Barack Obama, Hillary Clinton, dan Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam.
“Tapi yang paling ribet memang menangani rombongan Raja Salman. Itu luar biasa sekali, karena kami menangani 459 ton kargo yang berisi perlengkapan yang dibawa oleh rombongan raja. Belum lagi rombongan pesawat Raja Salman seperti Boeing B747-400, B747 Freighter, B777, B757, B737-800. Tonase kargo tersebut terdiri dari 63 ton yang diturunkan di Bandara Halim Perdanakusuma dan 396 ton di Bandara Ngurah Rai, Bali,” ungkapnya.
Adji menjelaskan, pada saat menangani Raja Salman, pihaknya menyiapkan 178 personal di Bandara Halim Perdanakusuma. Bagi JAS, kehadiran Raja Salman merupakan tantangan tersendiri. Rombongan “kolosal” itu ditangani JAS dengan menurunkan 30 operator berlisensi untuk mengoperasikan parkir pesawat, serta 26 personel keamanan penerbangan yang mengawasi penurunan barang hingga terminal.
Sementara untuk di Bandara Ngurah Rai, Bali, JAS menyiapkan 394 orang. SDM itu dikerahkan untuk menangani motorized atau eskalator yang biasa digunakan Raja Salman. Selain itu, JAS juga menyiapkan 67 “greeters dan meeters” untuk melayani kebutuhan para tamu, seperti pengurusan keimigrasian, pengawalan kru, penyediaan kursi roda, dan lain-lain.
Ketatnya kompetisi berebut “landasan pacu” membuat JAS berusaha melebarkan pasar ke Indonesia Timur. Dari sisi pertumbuhan bisnis, pembangunan bandara di timur sedang masif karena pemerintah sedang mendorong pariwisata dan infrastruktur. Pekerjaan besar lainnya adalah menyambut lalu lalang maskapai dari negeri tetangga yang berkiprah dalam Asian Games 2018.
“Potensi wisata yang besar di kawasan Indonesia Timur membuat kami tertarik untuk hadir di sana, salah satu destinasinya adalah Labuan Bajo dan beberapa destinasi yang memiliki potensi pariwisata yang menarik untuk dikunjungi wisatawan, sebagai the next Bali,” kata Adji. Kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengunggulkan pariwisata, mendorong JAS menangkap peluang itu.
KOMENTAR
0