Dompu dapat menjadi harapan baru pariwisata Nusa Tenggara Barat. Syaratnya, pemerintah setempat harus berani mengundang investor dan berbenah diri.
Panas matahari begitu menyengat ketika kami menginjakkan kaki di Bandara Sultan Muhammad Salahudin. Bila dilihat dalam peta, bandara ini berada di Kotamadya Bima. Namun, inilah jalan masuk paling mudah menuju Dompu, selain Pelabuhan Calabai yang menghubungkan Lombok dengan Sumbawa Besar.
Di daratan yang panas menyengat itu, kami disambut pemandangan empang dan petak-petak tambak garam. Di dalam mobil yang kami sewa dari bandara, perjalanan kami cukup lumayan menyenangkan. Perbandingannya sederhana, dari Bima ke Dompu bisa pula menggunakan bus dengan tarif sekitar Rp45.000. Tentu bukan bus-bus besar seperti umumnya di pesisir utara Jawa, tetapi bus mini seukuran metromini. “Itupun singgah-singgah,” kata Suratman, sopir mobil kami.
Jadi, bila ingin bepergian menjelajah Dompu, sewalah kendaraan dengan tarif sekitar Rp500.000 per hari.
Tidak ada yang luar biasa ketika menjejakkan kaki di Kota Dompu, yang biasa dijuluki Bumi Nggahi Rawi Pahu. Padahal wilayah ini sudah disebut-sebut Gajah Mada, Mahapatih Majapahit, dalam Sumpah Palapa sebagai Dompo. Hotel terbaik di kota ini juga hanya hotel kelas melati. Dompu, sebagaimana kawasan lain di Indonesia, menjadi korban ketimpangan pembangunan warisan pemerintah pusat pada masa silam.
“Pada masa lalu, hidup rakyat kami bergantung dari rentenir. Membuka lahan perkebunan dengan uang dari rentenir, menanam juga pakai uang rentenir, bahkan saat panen. Kami mengalami kemiskinan struktural,” kata Bambang M. Yasin, Bupati Dompu.
Pemerintahan Bambang M. Yasin membawa perubahan besar. Dompu kini menjadi sentra penghasil jagung nasional yang diekspor hingga Filipina. Kabupaten ini menyediakan 20 persen stok jagung nasional dan memiliki daya beli terbaik kedua di Nusa Tenggara Barat (NTB) setelah Mataram, Ibu Kota provinsi itu. Walhasil, perumahan di Dompu menjadi berseri. Gubuk-gubuk disulap menjadi rumah semi permanen berhias parabola. Motor berseliweran dan warung-warung buka hingga tengah malam. Dompu berbinar karena jagung.
Sayangnya, pariwisata belum jadi prioritas. Padahal industri pariwisata dapat dibangun hanya bermodalkan keramahtamahan, pelayanan yang baik, keamanan, kenyamanan, dan tentu saja keindahan alam. Bila hal ini dirawat, pemerintah daerah dapat menangguk pendapatan berlipat-lipat. Dompu memiliki segalanya dalam industri pariwisata.
Wisata Bahari Ujung Tombak Dompu
Dompu menjadi buah bibir para peselancar sejak era 1980-an. Berbekal rasa penasaran, kami menuju Pantai Lakey, arah selatan Kota Dompu. Pantai yang menghadap Samudra Hindia ini rutin dikunjungi peselancar Australia, Amerika Selatan, Amerika Serikat, dan Eropa. Pantai ini berlokasi di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Di dunia, tidak banyak pantai dengan ombak yang menyapu dari arah kiri ke kanan. Pantai Lakey adalah salah satunya.
Matahari mulai meninggi saat kami tiba di Lakey, menyaksikan dari dekat sekitar 20 peselancar yang berburu ombak. Ketinggian ombak di pantai berpasir putih itu konstan, antara enam hingga delapan meter.
“Sepanjang tahun, pantai ini dikunjungi peselancar,” ujar Muhammad Bass, nelayan yang menyewakan kapal motornya kepada kami. Menurut Bass, bulan terbaik berselancar di Lakey antara April hingga Oktober.
Dari sekian peselancar, terdapat anak kecil, bahkan ada yang berusia Taman Kanak-kanak (TK). Mereka anak-anak laut yang tidak kenal takut. Melihat pemandangan itu, tidaklah mengherankan bila ada juara dunia selancar yang berasal dari kecamatan di ujung Kabupaten Dompu, ialah Oney Anwar.
Perlombaan yang digelar Rip Curl tiap tahun membuat bakat-bakat terpendam anak-anak laut itu serasa disulut. Sebab itulah titik pusat Kota Dompu terpampang patung peselancar yang berdiri tegak di sebuah perempatan jalan.
Pantai Lakey memiliki empat jenis ombak, yang disebut oleh para peselancar sebagai Lakey Peak, Cobble Stones, Lakey Pipe, dan Periscope. Jenis yang paling menantang dan hebat untuk berselancar adalah Lakey Peak karena menyuguhkan tantangan ombak dari arah kiri maupun kanan. Pada bagian kiri, ombak berbentuk terowongan panjang, sementara di bagian kanan berupa gulungan ombak yang sempurna untuk berselancar.
Di siang yang panas itu, kami menjajal memotret mereka dari dekat dan mencicipi empasan ombak Pantai Lakey yang membuat dada berdegup kencang karena perahu yang dikemudikan Bass terlempar diterjang ombak.
Bagi Bass, Lakey membawa berkah tersendiri. Ia menanam jagung seperti kebanyakan warga Dompu. Bedanya dengan warga lain, sambil menanti panen, ia menyewakan perahu. “Kalau turis asing saya kenakan Rp600.000 per jam, tetapi untuk turis Indonesia cukup Rp300.000,” kata Bass sambil menutupkan handuk di kepalanya, menghindari sergapan panas.
Kami rupanya harus menjelajah ke empat arah mata angin untuk menikmati keindahan alam Dompu. Begitu kata Suratman yang juga berperan sebagai pemandu kami. Ia berpesan, perjalanan menuju Pulau Satonda di barat laut Dompu merupakan perjalanan panjang, memerlukan waktu hingga delapan jam pergi-pulang.
“Dahulu, sebelum jalanan mulus seperti ini, perjalanan menuju Desa Nangamiro dapat mencapai enam jam, pulangnya sekitar enam juga,” kata Suratman sambil terus mengemudi.
Kini semua aspal mulus karena perhelatan Tambora Menyapa Dunia yang dihadiri Presiden Joko Widodo pada tahun 2015. Tentunya kegiatan itu memaksa Pemerintah Kabupaten Dompu berbenah.
Namun, lelahnya perjalanan terbayar dengan lanskap hamparan rumput berselang-seling dengan semak dan hutan kecil. Kuda-kuda berlarian. Di sekitarnya, sapi-sapi bermalas-malasan. Jumlah ternak di wilayah ini mewakili 10 persen ternak di Kabupaten Dompu atau lebih dari 1.000 ekor. Inilah wild wild west ala Dompu. Lanskap sabana itu diperindah dengan Laut Flores dan Gunung Tambora yang melegenda itu.
Kecintaan rakyat Dompu pada Gunung Tambora memang luar biasa. Pada suatu siang yang gerah, kami menemui Tarmizi, yang biasa disapa Komeng, pegiat off road dan Pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dompu. Pria mungil bermata tajam ini bercerita soal event Tambora Menyapa Dunia.
“Kami ingin menarik wisatawan ke Dompu, lalu tebersit ide mempromosikan Tambora. Nama gunung ini mendunia sejak meletus pada 5 April 1815,” kata Tarmizi.
Pemerintah Kabupaten Dompu memang belum memprioritaskan pariwisata. Dari tahun ke tahun anggaran untuk membangun pariwisata selalu tidak mencapai semiliar.
“Uang segitu untuk membenahi toilet umum di pantai dan lain-lain saja sudah habis,” keluh Tarmizi.
Cara satu-satunya, menurutnya, adalah menarik investor dan membuat event yang berkelanjutan. Tambora Menyapa Dunia dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada 11 April 2015, bertepatan dengan peringatan dua abad letusan Tambora. Pesan Joko Widodo saat itu jelas, peringatan letusan Gunung Tambora akan dilakukan setiap tahun untuk meningkatkan kunjungan pariwisata.
Letusan Tambora memang dahsyat. Ia mampu membuat Eropa melewati tahun 1815 tanpa musim panas. Letusan pertama Gunung Tambora terdengar pada 5 April 1815 di Pulau Jawa seperti tembakan meriam dengan durasi 15 menit dan berlangsung sampai keesokan harinya. Demikian catatan Thomas Stamfford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tentang letusan Gunung Tambora dalam bukunya The History of Java.
Letusan itu melenyapkan Kerajaan Sanggar, Pekat, dan Tambora. Material vulkanis yang dikeluarkan saat Gunung Tambora meletus mencapai lebih dari 100 kilometer kubik atau 100 miliar meter kubik. Letusan itu memangkas ketinggian Tambora menjadi setengahnya, atau 2.700 meter dari permukaan laut.
Letusan Tambora merupakan kedua terbesar di dunia setelah gunung di Toba. Letusan itu menciptakan kawah berdiameter delapan kilometer.
“Lereng Tambora saat ini dimanfaatkan untuk bumi perkemahan dan kegiatan off road, baik dengan menggunakan mobil four wheel drive ataupun motor trail,” ujar Tarmizi.
Di ujung perjalanan kami di Desa Nangamiro tidak kalah menakjubkan: Pulau Satonda. Pulau ini merupakan daratan vulkanis yang terbentuk akibat letusan gunung api di dasar laut sedalam seribu meter sejak jutaan tahun lalu. Pulau Satonda ini lebih terkenal di kalangan wisatawan mancanegara. Mereka kerap menjadikan pulau ini sebagai tempat singgah kala berkunjung ke Taman Nasional Komodo.
Sejak tahun 1999, Pulau Satonda telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Pulau ini kaya dengan aneka terumbu karang. Selain itu, salah satu alasan yang menjadikan pulau berluas 2.600 hektare ini sebagai incaran ilmuwan adalah keberadaannya yang tidak dapat dipisahkan dari fenomena meletusnya Gunung Tambora.
Kawah Satonda merupakan danau air asin yang tercipta akibat tsunami yang membobol salah satu dinding kawah dan mengisinya dengan air laut. Kawah Satonda menyerupai angka delapan dengan diameter masing-masing 950 meter (sebelah selatan) dan 400 meter (sebelah timur). Danau ini dianggap memiliki kemiripan dengan kondisi laut zaman purba. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian terhadap karang dan fosil alga yang hidup di danau tersebut.
Titik wisata bahari sejatinya sangat banyak di Dompu. Pasalnya, Dompu dikelilingi lautan yang membentang dari Samudra Hindia hingga Selat Saleh. Pantai-pantai indah di sini juga belum tergarap karena minimnya anggaran. Salah satunya adalah Pantai Wadujao atau pantai berkarang hijau. Pantai ini memiliki ombak yang tenang dan kerap menjadi area memancing. Dari Kota Dompu, letak pantai ini juga tidak begitu jauh, sekitar 15 menit perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Di sekitar Pantai Matiti, di wilayah Kecamatan Hu’u, juga terdapat pantai berpasir putih yang memiliki sumber mata air panas. Pantai yang dikenal dengan Lamea ini merupakan tempat sempurna untuk memancing. Pertemuan antara air laut dan sungai serta terdapatnya sumber mata air panas menjadi tempat favorit ikan untuk berkembang biak.
“Daerahnya masih asri karena tersembunyi di balik bukit dan hutan. Namun, sudah banyak penduduk setempat yang mengunjungi kawasan itu,” ujar Sri Suzana, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Dompu.
Nantinya, menurut Suzana, sumber mata air panas Lamea akan dikembangkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hidro (PLTMH), karena potensinya menghasilkan listrik hingga 65 megawatt.
Wisata bahari lain berupa gugusan pulau di Nanga Tumpu. Letaknya 30 kilometer dari Dompu, atau memakan waktu lebih kurang setengah jam. Pulau-pulau kecil ini disebut “nisa”, meliputi Nisa Pudu, Nisa Rate, Nisa Maja, dan Nisa Kodo yang berpasir putih.
Kawasan Nanga Tumpu dan sekitarnya sangat cocok untuk berenang, memancing, dan menyelam. Pada musim tertentu, seperti saat musim angin bertiup dari selatan dan barat, atau sekitar bulan Januari hingga Maret serta Juli dan Agustus, di kawasan ini sering diadakan lomba perahu layar tradisional, selain kegiatan olahraga seperti selancar angin dan selancar dengan menggunakan parasut.
Situs Megalitikum di Hu’u
Selain pantai, Hu’u memiliki potensi wisata sejarah. Di pagi yang mendung itu, kami menuju situs megalitikum Hu’u bersama Tarmizi dan Syafruddin, Pemerhati Sejarah Hu’u yang juga Staf Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Dompu. Kami melintasi persawahan yang subur untuk mencapai Desa Sambana karena ujung jalan bebatuan tidak cukup lagi untuk dilintasi mobil.
Dompu memang surga bagi mereka yang mencintai wisata petualangan. Situs megalitikum Hu’u bertempat dalam satu kompleks. Ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut merupakan permukiman. Pada era itu, masyarakat Hu`u mulai hidup bermasyarakat dengan dipimpin oleh seorang Ncuhi atau kepala suku. Ncuhi pertama berjuluk Ncuhi Iro Aro.
Di lokasi yang berbukit itu, dapat ditemui kuburan yang berbentuk bundar atau silinder, yang digali dalam tanah lalu ditutup dengan batu pipih bulat atau wadu kalate mbolo. Di sekitar lokasi itu terdapat pula pancuran dan batu berlubang, mirip dakon.
“Batu yang memiliki ceruk memanjang ini dahulu dilalui air untuk mandi dan keperluan lainnya oleh masyarakat pada era itu,” kata Syafruddin.
Ncuhi Iro Aro yang berkuasa di Hu’u adalah salah satu dari empat Ncuhi yang berkuasa. Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Saneo, Ncuhi Nowa, dan Ncuhi Tonda. Setelah masa Ncuhi berlalu, Dompu berganti menjadi kerajaan yang masih memiliki kaitan yang kuat dengan Kerajaan Tulang Bawang.
Saat diperintah Raja Mawaa La Patu, Dompu diserang Majapahit sekitar tahun 1344. Agresi ini dipimpin Panglima Nala. Namun, ekspedisi ini gagal.
Sekitar tahun 1357, Majapahit kembali melakukan ekspedisi dengan dibantu laskar dari Bali yang dipimpin Panglima Soka. Ekspedisi kedua Majapahit itu berhasil menaklukkan Dompu. Dompu pun akhirnya menjadi kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Setidaknya kami membutuhkan waktu seminggu untuk menjelajahi Dompu. Itu pun tidak semua berhasil kami eksplorasi akibat cuaca yang tidak bersahabat pada awal tahun. Selain itu, infrastruktur dan fasilitas wisata yang minim membuat wisatawan tidak dapat berlama-lama di satu titik.
Potensi yang luar biasa ini seharusnya dapat menambah pendapatan asli daerah. Sayangnya, pemerintah Kabupaten Dompu belum menempatkan pariwisata sebagai prioritas. Walhasil Dompu seperti mutiara yang belum dipoles hingga mengilap.
KOMENTAR
0