Semarang merupakan salah satu destinasi wisata sejarah termasyhur di Indonesia. Di kota berjuluk Venetie van Java ini terjadi pertemuan tiga budaya: tradisional Jawa, kolonial, dan oriental. Pengaruh Tionghoa terjadi sekitar tahun 1435, ketika Laksamana Cheng Ho singgah ke Pelabuhan Simongan. Perjalanan itu menyisakan Kelenteng Sam Poo Kong (Gedung Batu) yang keberadaannya masih lestari hingga kini.
Sementara Belanda menancapkan pengaruhnya di kota berluas 373,67 kilometer persegi ini pada tahun 1708, yang ditandai dengan pendirian kantor Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Mereka bahkan membangun kawasan hunian eksklusif seluas 31 hektare yang disebut Outstadt (kini Kota Lama). Lebih dari 500 tahun telah berlalu, pengaruh kedua budaya itu pun bertransformasi pesona sejarah yang menjadi identitas Semarang saat ini.
Joko Suratno, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita) Jawa Tengah, mengatakan, Sam Poo Kong dan Kota Lama merupakan dua destinasi populer di kalangan wisatawan MICE. Alasannya, lokasi kedua destinasi ini tidak jauh dari pusat kota dan tidak diperlukan banyak waktu untuk menjelajahinya. Namun, apabila Anda bosan dengan Sam Poo Kong dan Kota Lama, maka Bandungan dan Ambarawa dapat menjadi pilihan.
“Keduanya menawarkan wisata sejarah yang tidak kalah menarik dibandingkan Sam Poo Kong dan Kota Lama,” katanya.
Wisata Candi Berbalut Perbukitan
Gedong Songo, yang berada di Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, terletak di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Destinasi wisata ini dapat ditempuh sekitar 45 kilometer atau 1,5 jam berkendara dari pusat Kota Semarang. Candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi ini pertama kali ditemukan oleh seorang arkeolog bernama Loten pada tahun 1740. Sekitar tahun 1804, keberadaan candi ini dilaporkan kepada Stamford Raffles, Gubernur Hindia Belanda periode 1811-1816.
Pesona Gedong Songo digambarkan Raffles dalam bukunya yang berjudul The History of Java, yang dipublikasikan tahun 1817. Kala itu, dia menyebut candi itu dengan nama Gedong Pitoe atau tujuh bangunan karena bangunan yang ditemukan baru tujuh candi. Keberadaan Gedung Songo sekali lagi terekam dalam lukisan Jacob Pieter van Braam, Panglima Perang Belanda, yang dibuat pada tahun 1825.
Sekitar tahun 1908, Van Stein Callenfels melakukan penelitian di candi ini, dilanjutkan dengan inventarisasi oleh Knebel pada 1910-1911. Selama setahun (1928-1929), Oudheidkundige Dienst atau Dinas Purbakala Belanda memugar Candi Gedong I. Pemugaran kemudian dilanjutkan ke Candi Gedong II pada tahun 1930-1931. Restorasi Candi Gedong III, IV, dan V baru dijalankan pasca-kemerdekaan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jawa Tengah, yang kini bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya.
Menilik namanya, candi ini diadopsi dari bahasa Jawa, yaitu ‘gedong’ yang berarti rumah atau bangunan, dan ‘songo’ yang bermakna sembilan. Secara harfiah, nama candi ini dapat diartikan sebagai sembilan kelompok bangunan. Dari sembilan candi, saat ini hanya tersisa lima candi utuh. Sisanya hanya berupa reruntuhan.
Untuk menyambangi candi ini, Joko menyarankan untuk datang lebih pagi. Pasalnya, lokasi candi yang terletak di lereng Gunung Ungaran membuat cuaca tidak dapat diprediksi. “Kabut dapat turun setiap saat. Hal ini tentu dapat mengurangi jarak pandang. Pagi hari biasanya cuaca relatif lebih cerah,” tuturnya.
Museum Kereta Api Ambarawa
Jawa Tengah memegang peranan penting dalam perkembangan perkeretaapian di Indonesia. Pada 17 Juni 1864, Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoonweg Maatschappij (NV NISM) memulai pembangunan rel kereta api pertama di Desa Kemijen, Semarang Timur. Sekelumit sejarah perkeretaapian di Jawa Tengah masih dapat ditemui di Museum Kereta Api Ambarawa.
Museum Kereta Api Ambarawa menyimpan sejumlah koleksi langka, salah satunya lokomotif uap bergerigi. Kereta jenis ini konon hanya ada tiga di dunia, dua di lainnya disimpan oleh India dan Swiss. Selain itu, museum ini memiliki 21 unit lokomotif berbagai tipe, baik bermesin diesel maupun uap. Beberapa lokomotif yang menjadi koleksi di museum ini di antaranya Lokomotif B2502 dan B2503 produksi Maschinenfabriek Esslingen, perusahaan manufaktur asal Jerman.
Tri Prastyo, Kepala Stasiun Ambarawa, menjelaskan, Museum Kereta Api Ambarawa juga menampilkan berbagai koleksi, seperti alat pengatur sinyal, pengatur perpindahan rel kereta, dan alat timbang barang. “Sebenarnya, kami masih dalam tahap revitalisasi sampai sekarang. Oleh karena itu, masih ada beberapa koleksi yang belum ditampilkan,” ujarnya.
Jika ingin pengalaman yang tidak biasa dalam berwisata sejarah, museum ini menawarkan paket wisata sepanjang 12 kilometer, menyusuri Ambarawa hingga Tuntang, menggunakan lokomotif tua. Menurut Tri, ada dua pilihan lokomotif yang ditawarkan kepada wisatawan, yaitu kereta tenaga uap atau diesel. “Perjalanan Ambarawa-Tuntang menggunakan lokomotif ini menghabiskan waktu sekitar satu jam pulang-pergi,” katanya.
Dalam berkereta wisata ini, Anda tidak hanya berpengalaman menaiki lokomotif kuno, tetapi juga dapat menikmati pemandangan apik kawasan Rawa Pening sepanjang perjalanan. Paket wisata ini, menurut Tri, paling diminati wisatawan korporasi. Untuk pemesanan grup, perjalanan kereta dapat dilakukan setiap hari dengan keberangkatan paling sore pukul 13.30 WIB.
“Wisata kereta ini tidak bisa hingga terlalu sore. Pasalnya, lokomotif kereta belum memiliki lampu sehingga tidak memungkinkan untuk beroperasi ketika hari sudah gelap.”
Senja di Little Netherland
Berwisata di Semarang tidak akan lengkap tanpa menyambangi Kota Lama, yang pada era kejayaannya disebut Outstadt. Kawasan berluas 31 hektare ini merupakan kawasan hunian eksklusif warga Belanda. Pada abad ke-19, kawasan ini bertransformasi menjadi pusat perdagangan Nusantara dan Asia. Keunikan kawasan ini terletak pada puluhan bangunan bergaya arsitektur Eropa, yang sampai sekarang masih berfungsi sebagai perkantoran hingga rumah ibadah.
Salah satu bangunan ikonis di kawasan ini adalah Gereja GPIB Immanuel, yang oleh masyarakat lokal disebut Gereja Blenduk. Sebutan tersebut mengacu pada bentuk atap gereja yang menyerupai kubah raksasa berwarna merah. Menilik sejarahnya, gereja yang awalnya bernama Protestantschekerk ini dibangun pada tahun 1753 dengan gaya arsitektur tradisional Jawa.
Untuk mencapai rupanya saat ini, bangunan ini harus melewati dua kali renovasi. Pada tahun 1787, Gereja Blenduk direnovasi dengan mengganti arsitektur Jawa dengan sentuhan Eropa. Renovasi lainnya terjadi pada 1894-1895 yang dilakukan oleh dua arsitek bertangan dingin asal Belanda, HPA de Wilde dan Westmaas. Kedua arsitek inilah yang memasukkan unsur arsitektur Yunani berupa pilar-pilar raksasa yang terdapat di depan gereja, kubah, dan dua menara. Tidak hanya memoles eksterior, gereja ini juga memiliki interior yang masih terawat hingga saat ini. Lihat saja kaca patri raksasa, orgel barok, mimbar, hingga kursi jemaah berbahan jati.
Apabila ingin menikmati Kota Lama dari kacamata berbeda, coba kunjungi kawasan ini di sore hari. Selain lebih tenang, kawasan ini memiliki sejumlah tempat bergaul yang menarik, salah satunya adalah Spiegel Bar & Bistro yang terletak berdekatan dengan Gereja Blenduk. Nama restoran ini diadaptasi dari nama gedung Spiegel yang dibangun pada tahun 1895. Selain menikmati suasana gedung berusia ratusan tahun, pengunjung dapat merasakan menu western dan aneka minuman, seperti kopi, mocktail, dan koktail.
KOMENTAR
0