Satu dekade terakhir, sektor MICE Yogyakarta bergantung pada industri pameran. Syamsun Hasani, Ketua Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (Asperapi) Yogyakarta, mengatakan, hal tersebut ditopang oleh empat hal. Pertama, status Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan. Dalam setahun, katanya, Yogyakarta bisa menggelar 11 pameran komputer dengan 90.000-100.000 pengunjung.
Kedua, Yogyakarta memiliki sejumlah event organizer (EO) kreatif. XO Production misalnya, sukses menggelar pameran bertema kuliner yang tak biasa. Organizer tersebut mengadakan Festival Jajanan Kekinian di Jogja Expo Center (JEC) dan Festival Jajanan Kekunoan yang mendatangkan lebih dari 45.000 pengunjung. Selain kuliner, ada pula Kustomfest 2015, pameran modifikasi motor yang melibatkan 650 motor kustom, 300 mobil hotrod, dan 50 pintriper. Sekitar 300 booth yang ada dalam Kustomfest 2015 sukses menarik perhatian 20.000 pengunjung.
Ketiga, kesiapan venue. Yogyakarta memiliki Jogja Expo Centre (JEC) seluas 17.090 meter persegi dengan kapasitas mencapai 20.000 orang. Keempat, ketersediaan akomodasi. Istidjab Danunagoro, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, mengatakan, jumlah kamar hotel di Yogyakarta terbilang cukup.
Berdasarkan data PHRI, ada 87 hotel berbintang dengan total 8.500 kamar di Yogyakarta. Angka itu belum termasuk hotel non-bintang yang mencapai 1.010 hotel dengan total 13.000 kamar. “Sebenarnya, khusus Kota Yogyakarta sudah over supply (kelebihan pasokan). Anda tahu, kondisi seperti ini berpotensi menimbulkan perang tarif karena tingkat hunian (okupansi) rendah,” katanya.
Meski bertumbuh, namun Aris Riyanta, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Yogyakarta, menilai, industri MICE Yogyakarta saat ini masih menemukan tiga tantangan besar. Pertama, pelemahan perekonomian yang diproyeksikan berlanjut sepanjang 2016. Tahun lalu, skala dan transaksi pameran di Yogyakarta lebih lesu dibandingkan 2014.
“Perbandingannya begini. Tahun 2014, pameran komputer bisa menempati 2-3 hall JEC. Namun, tahun lalu hanya 1,5 hall saja. Pun dengan transaksi. Pengunjung berpikir dua kali untuk membeli komputer dengan kurs tinggi,” katanya.
Kedua, persoalan aksesibilitas. Aris menambahkan, hingga 2015, penerbangan langsung internasional menuju Bandara Internasional Adisutjipto hanya ada dari Singapura dan Malaysia. “Apabila bandara di Kulon Progo mulai beroperasi pada tahun 2019, maka kemungkinan penambahan penerbangan langsung sangat memungkinkan. Sejauh ini, rencana pengembangan bandara baru masih dalam tahap pembebasan lahan,” imbuhnya.
Ketiga, urgensi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD). Istidjab menjelaskan, selama ini badan promosi pariwisata hanya ada di tingkat kabupaten/kota (Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta). “Belum ada BPPD di tingkat provinsi. Kenapa saya katakan ini urgent, agar ada badan khusus yang fokus mempromosikan Yogyakarta di dalam dan luar negeri,” tuturnya.
Padahal, pariwisata memberikan manfaat besar bagi perekonomian lokal. Kabupaten Bantul misalnya, pada 2014 berkontribusi sebesar Rp10 miliar terhadap Penghasilan Asli Daerah (PAD), sementara itu Kabupaten Gunungkidul mendatangkan Rp5 miliar. Tahun lalu, kontribusi itu bergerak progresif di mana Gunungkidul menghasilkan Rp17 miliar dan Bantul Rp15 miliar.
Ketiadaan BPPD, kata Aris, saat ini disiasati dengan mengoptimalkan peran Dinas Pariwisata Provinsi Yogyakarta yang tahun ini mengalokasikan dana promosi sebesar Rp5 miliar. Selain untuk kegiatan promosi, anggaran itu akan dimanfaatkan untuk analisis pasar. “ITB Berlin adalah salah satu kegiatan yang akan kami ikuti tahun ini. Selain itu, kami akan rutin mengikuti pameran dan tabletop di beberapa negara potensial, seperti Jepang, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Intinya, kami mempertahankan pasar yang sudah ada sekaligus membesarkan market potensial,” tuturnya.
Penulis: Mikhail dan Erwin Gumilar
KOMENTAR
0