Strategi Menggelar Special Event

Thursday, 09 July 15 Venue

Perhelatan acara seni-budaya atau olahraga terbukti ampuh mempromosikan sebuah destinasi. Sumatera Barat contohnya, mereka sukses membuat kegiatan spesial (special event) untuk mengembalikan pamornya sebagai destinasi pariwisata pasca-digoyang gempa pada tahun 2009. Jenis event yang dipilih kala itu ialah lomba balap sepeda, Tour de Singkarak (TdS), yang rutenya melintasi sejumlah obyek wisata di Bumi Minang.

Kegiatan olahraga berbasis turisme itu tumbuh semakin besar dan berhasil mengangkat pamor Sumatera Barat sebagai tempat tujuan wisata. Kunjungan turis menunjukkan grafik positif, investasi di bidang pariwisata pun mengalami peningkatan. Setidaknya itu tecermin dari penambahan akomodasi: dari 1.442 kamar hotel berbintang menjadi 3.210 kamar hotel berbintang pada tahun 2013.

Sukses TdS itu coba ditiru oleh destinasi lainnya. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Kegagalan itu terjadi lantaran mereka sekadar meniru dan tidak disesuaikan dengan potensi yang dimiliki daerahnya sehingga acara tersebut menjadi tidak spesial.

BACA JUGA:   Les Clefs d'Or, Lisensi Tertinggi Para Concierge

Hal serupa itu (peniruan) terjadi pada Jember Fashion Carnaval (JFC) yang sukses dikembangkan oleh Dynand Fariz. Pamor JFC yang “meledak” coba ditiru di sejumlah daerah di Nusantara. Namun, JFC imitasi itu tak mampu mendongkrak popularitas daerah, justru membuat pamor JFC (asli) kian populer. Pasalnya, citra karnaval dengan kostum unik telah melekat pada JFC.  

Ndang Marwadi, CEO Inspiro, mengaku, menyukseskan special event di tengah keterbatasan infrastruktur bukanlah perkara mudah. Diperlukan strategi mumpuni untuk menaklukkan persoalan tersebut. Dia mencatat empat strategi yang dapat dijalankan untuk memuluskan perhelatan sports event di Indonesia.

Pertama, koordinasi apik lintas sektoral yang umumnya melibatkan pemerintah pusat, daerah, asosiasi, dinas terkait, hingga promotor. “Federasi atau asosiasi berkepentingan dalam hal teknis dan pencapaian prestasi; pemerintah menjadi pengarah dan pengambil kebijakan, sedangkan promotor bertugas mencarikan sponsor. Ini semua harus sinkron,” tutur Ndang.

BACA JUGA:   Turisme Berbalut Konservasi

Kedua, feasibility study atau studi kelayakan yang akan membantu daerah menemukan potensinya. “Misalnya, daerah dengan budaya yang kuat dapat menggelar festival budaya; yang kaya akan panorama dapat menjual sports event. Jadi, daerah harus benar-benar mengetahui apa yang mau dijualnya dan fokus dengan itu,” jelasnya.

Ketiga, memasang target ambisius di masa depan, seperti menjadi tuan rumah Olimpiade dan Piala Dunia. Menuju target tersebut, Indonesia dapat membekali diri dengan peta kekuatan, termasuk di dalamnya kontribusi pemerintah, strategi bidding, dan dampak event bagi daerah. Keempat, memperbaiki infrastruktur.

Untuk strategi keempat, Ndang menilai Indonesia perlu berkaca dari Republik Siprus. Negara dengan luas 3.355 kilometer persegi itu kerap menjadi tempat latihan para atlet Eropa. Hal ini karena Siprus memiliki fasilitas olahraga yang lengkap ditunjang alam dan iklim yang baik.

Namun, Indonesia layak optimistis dapat mengejar ketertinggalan, terutama di sektor infrastruktur. Setidaknya, rencana pembangunan lima bandara baru, rehabilitasi bandara, dan jalur kereta api baru dapat menjadi solusi terbaik persoalan infrastruktur dalam negeri. “Kalau mau menjadi pemain hebat, harus membuat event secara reguler. Kalau sekarang jelek tidak masalah, tahun depan bisa disempurnakan: yang penting konsisten,” jelasnya.

BACA JUGA:   7 Syarat Menjadi Destinasi MICE

Ke depan, Ndang menilai ada sejumlah event potensial yang layak diboyong ke Indonesia. Salah satunya Jet Ski World Cup Grand Prix yang tahun lalu digelar di Pattaya, Thailand. Garis pantai sepanjang 95.181 kilometer yang dimiliki Indonesia dan pengalaman sebagai tuan rumah Camel Trophy pada 1996, menurut Ndang, menjadi modal utama untuk memenangkan bidding.

Penulis: Siska Maria