Radikalisme, terorisme, dan separatisme merupakan ancaman bagi bangsa ini. Terutama di era digital yang membawa konsekuensi derasnya arus informasi masuk dari luar.
“Kalangan pelajar sebagai generasi digital perlu memperoleh bekal literasi digital. Ini penting sebagai upaya menangkal paham-paham tersebut agar mereka tidak terpapar,” kata Tino Agus Salim, Professional Trainer dan Motivator, dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (24/11/2021).
Dia mengatakan, karakteristik dan praktik radikalisme terorisme dan separatisme bisa berupa kebencian, propaganda, agitasi, kekerasan ekstrem, glorifikasi, deprivasi relatif, kedangkalan nalar dan disorientasi.
“Benteng penangkalnya, tidak lain adalah Pancasila,” kata dia.
Pendidik, kata Tino, sangat berperan membentuk profil pelajar Pancasila, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebhinnekaan global, bernalar kritis, bergotong royong, mandiri dan kreatif.
Menurutnya, kaitannya dengan media sosial yang tidak bisa terpisahkan dari generasi digital, di dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial tegas ditanyakan setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan ghibah, fitnah, namimah dan penyebaran permusuhan.
“Selain itu, juga dilarang melakukan bullying, ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama ras dan antargolongan,” kata Tino. Dia melanjutkan, dilarang pula menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
Larangan lainnya, kata Tino, adalah menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan dan segala hal yang terlarang secara syar’i serta menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan waktunya. Tidak hanya MUI, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) juga sudah mengeluarkan panduan bermedia sosial.
Di antaranya, selektif berteman, interaktif bukan pasif, hindari mengumbar kehidupan pribadi, kenali ciri-ciri hoaks, media sosial bukan ruang pameran, swafoto yang informatif, atur privasi akun media sosial, bagikan pandangan politik secara bijak dan santun, wartakan damai dan tampilkan karya positif.
“Dengan menyebarkan konten positif berarti menunjukkan dukungan kepada negara untuk mengatasi potensi ancaman terorisme, radikalisme, ekstremisme, dan separatisme,” kata Tino.
Segala tindakan dalam rangka mengatasi ancaman tersebut tetap harus berada di dalam koridor hukum dan HAM serta berlandaskan ilmu pengetahuan. Dengan begitu, tidak akan terjadi eskalasi kecemasan yang dapat membantu tercapainya tujuan penyebaran propaganda.
Tino juga menyinggung mengenai paham radikalisme mulai dari penyebab, dimensi dan tahapan-tahapannya meliputi pemahaman, sikap dan tindakan. “Penyebab radikalisme adalah faktor ideologi, faktor ekonomi, politik dan faktor sosial,” ujar dia.
Dia pun setuju ditingkatkannya literasi digital. Dengan terbentuknya perspektif budaya Pancasila diharapkan generasi muda maupun peserta didik mampu mengidentifikasi paham radikalisme. Harapannya tercipta iklim yang kondusif serta terbentuk atmosfer keluarga dan lingkungan yang jauh dari radikalisme.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0