Staf Ahli bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi serta Plt Deputi bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Frans Teguh meminta desa wisata untuk tidak dikelola secara instan. Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara dalam rangkaian Indonesia Tourism and Business Forum (ITBEF) dengan tema “Peran Kemitraan Pengembangan Desa Wisata Berkelanjutan” di Jakarta Convention Center, Senin 15 Agustus 2022.
“Mengembangkan desa wisata jangan buru buru dan instan. Jangan hanya untuk foto-foto saja. Harus ada nilai yang bisa kita sampaikan dan berkelanjutan. Dengan adanya nilai lokal, orang datang ke desa. Mendapatkan sesuatu yang baru. Kalau mereka mendapatkan sesuatu yang berbeda dan baru maka akan lama tinggal di situ,” kata dia.
Menurutnya, saat ini banyak pengelola yang menjadikan desa wisata hanya untuk tujuan tertentu, seperti penghargaan. Namun, ketika sudah mendapat penghargaan, desa tidak dikelola lagi dengan baik. “Hal itu membuat wisatawan menjadi merasa apa yang mereka saksikan dan rasakan di luar ekspektasi.”
Toilet dan sampah, kata Teguh, merupakan hal yang menjadi catatan bagi pengelola desa wista untuk lebih diperhatikan lagi. “Jangan sampai mereka datang, lalu kecewa karena ternyata banyak sampah yang berserakan,” kata dia.
Teguh pun memberikan tips dan direktif pembangunan pariwisata daerah. Pertama sense of place, DNA Tourism: Keunikan/Kekhasan, otentisitas, point of difference, lokalitas. Kedua, komitmen CEO, prioritas sektor pariwisata, proporsi alokasi anggaran dan visioning pariwisata. Ketiga planning, design and management: integrated tourism masterplan (Visioning, Demand Assessment, Infastructure, Investment community), Ripparda, Rencana Detil, Rencana Investasi dan Bussiness Plan & Ded, Bussiness model pariwisata. Keempat portofolio produk pariwisata: Alam, budaya, buatan. Kelima kerja sama dengan pengelolaan pariwisata dengan pihak swasta, sinergi, ekosistem, orkestrasi.
Sementara keenam, lanjut Teguh, Perda terkait pariwisata RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), RDTR (Rencana Detil Tata Ruang), ketentuan pembangunan pariwisata daerah, ciri arsitektur lokal, produk lokal-Bunga, sayur, buah, cenderamata, busana local, homestay, jajanan,dll). Ketujuh, calender of event (Festival, perlombaan, event, pertemuan, musyawarah, congress, konferensi, pesta budaya, pertandingan olahraga, seni pertunjukkan music).
Sedangkan kedelapan dengan melahirkan champion pariwisata daerah seperti pemusik, penari, story teller, pemadu, interpreter, jago masak, jago diving, dsb. Sembilan tersedianya kuliner lokal, cinderemata lokal, transportasi local, busana local. Kesepuluh bersih toilet umum, bersih ruang publik. Kesebelas digital tourism, ICT, air bersih, jaringan komunikasi, perbankan. Kedua belas ramah –aman/professional/hospitality. Ketiga belas, informasi yang jelas dan terpercaya/jujur. Keempat belas film, cerita, narasi, kenangan, pengalaman, reputasi. Kelima belas Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil, terdidik dan profesioanal.
Keenam belas, lanjut Teguh, marketing dan promosi: branding advertising selling promise vs reputasi
Sustainable Tourism Practices, Pariwisata Inklusif, dan Ecofriendly Development. “Serta Green infrastructure, zero waste destination, sustainable and eco development,” ujar dia.
Menurut Executive Director CECT Universitas Trisakti Maria R Nindita Radyati untuk mencapai target SDGs terkait kemitraan, dalam kasus desa wisata diperlukan kelembagaan yang kuat. “Kalau mau didukung CSR jangan puas dikasih sumbangan ini itu,” kata dia. Menurut dia, untuk menciptakan dampak berkelanjutan, manusianya dahulu yang harus disiapkan. “Para pelaku desa wisata, jangan ingin instan. Karena itu kembangkan dulu sumber daya manusia. Karena faktor paling penting menciptakan dampak yang berkelanjutan, harus manusianya dulu dan itu kalau intensif apalagi kalau masyarakatnya sadar potensi desanya bagus.”
Ketua Asosiasi Desa Wisata Indonesia Andi Yuwono mengatakan, dalam mengelola desa wisata kendala terberat dalam kemitraan yaitu akses dan kesempatan. “Ketika berpikir tentang SDGs pada kenyataannya belum menyentuh ranah-ranah di pedesaan. Ketemu pejabat sulit, kesempatan sedikit,” kata dia.
Oleh karena itu, menurutnya berkoloni seperti membentuk asosiasi membuat arah desa menjadi ruang hidup yang menghidupi. Sedangkan untuk akses, menurut Andi butuh banyak teman, energi, untuk membangun desa. “Membangun desa harus dikeroyok bareng-bareng. Saatnya pentahelix. Ayo bantu desa. Desa ruang hidup yang menghidupi. Indonesia tidak akan menyala karena satu obor di Monas tapi dari lilin-lilin didaerah,” ujar Andi melalui forum yang diinisiasi KabarSDGs dan dimoderatori Pemimpin Umum KabarSDGs Veritia itu.
KOMENTAR
0