Wabah virus corona atau yang dikenal dengan COVID-19 tengah menjadi perhatian dunia. Berbagai sektor industri terkena dampak dari penyebaran virus ini, salah satunya ialah pariwisata.
Pariwisata merupakan sektor yang kinerjanya sangat bergantung pada stabilitas sosial, politik, keamanan, dan lingkungan. Apabila salah satu faktor stabilitas terganggu, maka kinerja pariwisata akan mengalami gangguan sehingga sulit untuk menggenjot industri pariwisata.
Haryadi B. Sukamdani, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), mengatakan, saat ini potensi kerugian pariwisata Indonesia dengan adanya virus COVID-19 ialah US$1,5 miliar. Dengan rincian, US$1,1 miliar berasal dari wisatawan Cina yang datang ke Indonesia, sisanya US$400 juta berasal dari multiplier effect.
“Jumlah tersebut merupakan angka perkiraan dari kami di industri, terhitung sejak Januari awal sampai per hari ini,” kata Haryadi.
Menurut Haryadi, penurunan wisatawan Cina di Indonesia paling berdampak di daerah Bali, Batam, dan Manado. Bahkan, saat ini, rata-rata okupansi hotel di Bali hanya mencapai 20 persen, khususnya di daerah-daerah yang banyak dikunjungi wisatawan individual, seperti Kuta, Sanur, Legian, Ubud, dan Jimbaran.
“Sejauh ini, dua daerah tersebut yang paling merasakan dampaknya. Tapi, ini akan diikuti oleh daerah lainnya yang memiliki potensi terhadap turis Cina,” ucapnya lagi.
Oleh karenanya, Haryadi berharap agar pelaku usaha dan para pengusaha akan terus bekerja sama dengan pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah tetap aktif melakukan kegiatan karena mata rantai ekonomi Indonesia saat ini sudah menyentuh level gross root, seperti yang dirasakan oleh UKM yang berkaitan erat dengan industri pariwisata.
“Kegiatan yang dilakukan juga bukan yang dalam arti kumpul-kumpul yang menimbulkan risiko besar, seperti kumpul di stadion. Tapi, kalau untuk kegiatan di hotel sebaiknya masih harus tetap dilakukan dan jangan ada pelarangan dari pemerintah,” jelasnya.
Wabah virus corona atau yang dikenal dengan COVID-19 tengah menjadi perhatian dunia. Berbagai sektor industri terkena dampak dari penyebaran virus ini, salah satunya ialah pariwisata.
Pariwisata merupakan sektor yang kinerjanya sangat bergantung pada stabilitas sosial, politik, keamanan, dan lingkungan. Apabila salah satu faktor stabilitas terganggu, maka kinerja pariwisata akan mengalami gangguan sehingga sulit untuk menggenjot industri pariwisata.
Haryadi B. Sukamdani, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), mengatakan, saat ini potensi kerugian pariwisata Indonesia dengan adanya virus COVID-19 ialah US$1,5 miliar. Dengan rincian, US$1,1 miliar berasal dari wisatawan Cina yang datang ke Indonesia, sisanya US$400 juta berasal dari multiplier effect.
“Jumlah tersebut merupakan angka perkiraan dari kami di industri, terhitung sejak Januari awal sampai per hari ini,” kata Haryadi.
Menurut Haryadi, penurunan wisatawan Cina di Indonesia paling berdampak di daerah Bali, Batam, dan Manado. Bahkan, saat ini, rata-rata okupansi hotel di Bali hanya mencapai 20 persen, khususnya di daerah-daerah yang banyak dikunjungi wisatawan individual, seperti Kuta, Sanur, Legian, Ubud, dan Jimbaran.
“Sejauh ini, dua daerah tersebut yang paling merasakan dampaknya. Tapi, ini akan diikuti oleh daerah lainnya yang memiliki potensi terhadap turis Cina,” ucapnya lagi.
Oleh karenanya, Haryadi berharap agar pelaku usaha dan para pengusaha akan terus bekerja sama dengan pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah tetap aktif melakukan kegiatan karena mata rantai ekonomi Indonesia saat ini sudah menyentuh level gross root, seperti yang dirasakan oleh UKM yang berkaitan erat dengan industri pariwisata.
“Kegiatan yang dilakukan juga bukan yang dalam arti kumpul-kumpul yang menimbulkan risiko besar, seperti kumpul di stadion. Tapi, kalau untuk kegiatan di hotel sebaiknya masih harus tetap dilakukan dan jangan ada pelarangan dari pemerintah,” jelasnya.
KOMENTAR
0