Di tengah gelombang kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan pemerintah, industri perhotelan dan pariwisata Indonesia berada di ujung tanduk. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) serta Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mendesak pemerintah untuk segera memberikan relaksasi pajak, insentif finansial, serta meningkatkan promosi pariwisata guna mencegah dampak lebih lanjut terhadap sektor ini.
Christy Megawati, Ketua Bidang Litbang dan IT Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (22/3/2025), menegaskan bahwa intervensi pemerintah sangat dibutuhkan untuk menstabilkan sektor pariwisata yang mengalami penurunan tajam. Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran berdampak besar pada operasional hotel, memicu kerugian yang signifikan.
Hasil survei Sentimen Pasar Dampak Kebijakan Penghematan Anggaran Pemerintah yang dilakukan PHRI pada Maret 2025 menunjukkan bahwa dari 726 pelaku industri perhotelan di 30 provinsi, 88% di antaranya menghadapi potensi keputusan sulit, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengurangan upah karyawan sebagai upaya menekan biaya operasional. Selain itu, 58% responden memperkirakan kemungkinan gagal bayar pinjaman ke bank akibat tekanan keuangan yang semakin berat.
Kondisi ini juga berdampak langsung pada penerimaan pajak hotel. Sebanyak 75% pelaku industri memprediksi target pajak tahun ini tidak akan tercapai, sementara 71% lainnya khawatir bahwa penurunan pendapatan hotel akan mengganggu rantai pasok industri perhotelan dan pariwisata secara keseluruhan. Jika situasi ini terus dibiarkan, 83% pelaku industri meyakini bahwa sektor pariwisata akan mengalami kemerosotan lebih dalam, yang berimbas pada perekonomian daerah yang sangat bergantung pada sektor ini.
Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum GIPI, turut menyoroti dampak kebijakan pemangkasan anggaran perjalanan dinas (perdin) kementerian dan lembaga hingga 50%. Ia menegaskan bahwa meskipun kebijakan tersebut seharusnya hanya memangkas separuh anggaran, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hampir tidak ada pemasukan sama sekali dari perjalanan dinas, yang sebelumnya menjadi sumber utama pendapatan bagi hotel-hotel di berbagai daerah.
“Kami melihat lebih baik pemerintah menjalankan pemotongan 50% sesuai kebijakan, bukan justru menghentikan seluruhnya. Saat ini, yang terjadi di lapangan adalah 100% tidak berjalan. Ini sangat berdampak bagi industri perhotelan,” ujar Hariyadi.
Ia menekankan bahwa tanpa tindakan cepat dari pemerintah, dampak negatif akan terus meluas, bukan hanya bagi industri perhotelan dan pariwisata, tetapi juga terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025 menetapkan pemangkasan anggaran perjalanan dinas pemerintah daerah (Pemda) hingga 50%. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya efisiensi sebesar Rp306,6 triliun, dengan rincian pemangkasan anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp50,5 triliun.
Dengan adanya kebijakan ini, PHRI dan GIPI terus menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah mitigasi guna memastikan industri perhotelan dan pariwisata tetap bertahan. Tanpa kebijakan relaksasi yang cepat dan strategis, Indonesia berisiko kehilangan salah satu sektor utama penggerak ekonominya.
KOMENTAR
0