Karier G. Jeffrey Zacharias Rantung, putera almarhum Mayjen (Purn) Cornelis John Rantung (Gubernur Sulut periode 1985-1995), di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bermula pada 2016, ketika dipercaya sebagai Staf Khusus Gubernur pada masa kepimimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kemudian berbekal pengalaman di industri perhotelan, ia dipercaya menduduki posisi Direktur Utama Jakarta Tourisindo (Jaktour) pada Agustus 2017.
Penempatan Jeffrey di BUMD (DKI Jakarta) itu terbilang tepat, sesuai dengan latar pendidikannya. Pria berusia 49 tahun ini menyelesaikan program studi sarjana pariwisata di Hotel Institute for Management, Montreux, Swiss, selama empat tahun. Setelah itu ia hijrah ke Amerika Serikat untuk menuntaskan program S2 di Strayer College, Washington DC dan Harvard University, Cambridge.
“Saya pulang pada awal 1998, atas perintah bapak. Sempat mengelola hotel (sebagai GM) di Batam, Bali, dan juga Manado,” kata Jeffrey saat ditemui oleh Majalah VENUE di Hotel Grand Cempaka, 1 dari 7 hotel yang dikelola Jaktour.
Pada kesempatan itu ia juga banyak bercerita tentang kinerja Jaktour dan gagasannya mengenai pengembangan pariwisata Jakarta. Berikut kutipan hasil wawancara G. Jeffrey Zacharias Rantung, Direktur Utama Jakarta Tourisindo (Jaktour) dengan Bayu Hari dan Nurdin Al Fhami dari Majalah VENUE beberapa waktu Lalu.
Bagaimana kinerja Jaktour saat ini?
Ketika saya bergabung pada Agustus 2017, kondisi perusahaan masih merugi. Kemudian pada akhir 2017, saya bisa menekan kerugian sebanyak Rp1,1 miliar. Pada 2018, kerugian dapat ditekan hingga Rp5,4 miliar. Tapi memang masih rugi. Tahun 2019 diharapkan kerugian dapat diperkecil kembali, kemudian pada 2020 target kerugiannya nol. Setelah itu baru kami dapat memberikan deviden. Itu targetnya.
Sebagian besar kerugian itu berasal dari kewajiban kami terhadap pemerintah, semisal Pajak Bumi dan Bangunan karena ada beberapa lahan yang belum dapat kami lakukan revitalisasi. Jadi ke depannya, kami juga akan terus melakukan revitalisasi aset.
Saat ini berapa total aset Jaktour?
Mungkin sekitar Rp2,7 triliun. Tidak begitu besar. Terpenting cash flow kami lancar, bagus. Dan negatif cash flow kami menurun. Itu yang terpenting.
Bagaimana Anda mengkapitalisasi aset itu?
Untuk aset, kami membuka kesempatan untuk kerjasama dengan swasta atau BUMD untuk mengelola aset. Kami akan memastikan bahwa aset yang ada itu bisa menghasilkan.
Dari beberapa aset itu, mana yang berpotensi untuk dikerjasamakan?
Kami terbuka untuk KSO. Sangat bisa sekali. Salah satunya untuk area resor di kawasan Puncak yang berluas kurang lebih 15 hektare. Kemudian ada juga area sekitar 4,2 hektare di tepi pantai di kawasan Sukabumi.
Selain perhotelan, apakah Jaktour juga memiliki unit bisnis lain?
Saat ini memang hanya perhotelan, ada kami mengelola 7 hotel di Jakarta dan 1 resor di Puncak. Namun, ke depannya kami akan melakukan transformasi ke lini tourism and development. Jadi kami mulai membuat roadmap, mulai dari konsep pariwisata DKI, pengembangan destinasi, dan kami juga mulai masuk ke pengembangan event. Kami akan menciptakan event dan mengundang event internasional ke Jakarta, karena semua itu tujuannya untuk pariwisata.
Jadi Jaktour akan membentuk divisi event?
Iya. Rencananya begitu. Itu konsep yang kami ajukan ke Gubernur. Jadi nanti akan ada Jak MICE, Jak F&B, dan Jak Education dengan membangun sekolah untuk mempersiapkan SDM. Divisi ini sedang kami persiapkan struktur organisasinya. Kalau ini disetujui, ini akan menjadi transformasi bisnis Jaktour.
Untuk memastikan semua itu berjalan, berapa anggaran yang dibutuhkan Jaktour?
Untuk pengembangan hotel, kami akan mendapatkan dari PMD (Penanaman Modal Daerah), yang lainnya kita akan mengajukan konsepnya saja.
Terkait rencana membentuk Jak MICE, event yang revelan diselenggarakan di Jakarta?
Pertama sport event karena kita sudah memiliki fasilitas yang mumpuni. Kemudian seni budaya, Jakarta punya TMII dan Kota Tua. Kemudian, event yang terkait dengan IT, misalnya robotic. Saya kira itu perlu digarap.
Sebagai destinasi tujuan wisata, bagaimana daya saing Jakarta dibandingkan kota-kota besar di negara lain?
Jakarta punya potensi yang sama. Untuk meningkatkan daya saing itu, kebijakan Pemda terkait pariwisata menjadi penting. Semisal mengintegrasikan kepentingan stakeholder. Pengembangan Kota tua itu banyak pemikiran bagus dari para doktor dan profesor, tapi masih seperti itu. Pengembang Kota tua itu kompleks karena di situ ada swasta, pemerintah pusat dan daerah, dan juga individu yang memiliki gedung. Jadi solusinya harus ada badan otorita yang mengawal itu. Jadi harus menyamakan dulu persepsinya. Demikian juga dengan kepulauan seribu.
Kebijakan itu di segala bidang, termasuk dari sisi promosinya. Dan kebijakan itu tidak cukup dengan Pergub dan Perda, melainkan harus ada komitmen bersama untuk itu. Dan ada enforcement, memastikan aturan itu berjalan.
Setelah kebikajakan, selain 3 A (atraksi, aksesibilitas, amenitas) yang merupakan keharusan, yang perlu diperhatikan adalah konsistensi di brandingnya, jualannya.
Contok kebijakan yang dapat diterapkan di Jakarta?
Contohnya, rata-rata tingkat hunian di Jakarta itu 2,2 rasionya. Artinya turisdi Jakarta itu hanya dua hari, sisanya ke Bali ke Jogja, dan tempat lainnya. Dia tidak liburan di sini. Jadi mereka datang untuk bisnis, meeting, pameran, dan seminar, tapi jalan-jalannya tidak di Jakarta. Mengapa? Kita belum menciptakan peluang untuk mereka.
Nah, hotel bisa ditantang untuk membuat mereka tinggal lebih lama, dan pemerintah akan memberikan insentif buat mereka. Misalnya membuat paket tur ke Kepulauan Seribu. Itu salah satu kebijakan yang bisa dilakukan oleh Pemda. Kemudian kebijakan untuk memanfaatkan bus way untuk dilintasi bus pariwisata. Sehingga turis tidak terjebak dalam kemacetan.
Apa konsep Anda untuk mengembangkan pariwisata Jakarta?
Jakarta NOW (New Oportunity Window). Ini yang saya tawarkan kepada Gubernur. New itu berarti new concept, new facility, new approach( pendekatan baru seperti media sosial dan direct selling).
Opportunity, kita lihat pemintaaanya seperti apa, dan dari sisi kesempatan itu di mana saja. Misalnya turis China, sebesar apa pangsa pasarnya, dan worth it tidak kalo dibawa ke sini.
Window, ini terkait dengan visi Gubernur (terkait pariwisata). Jakarta sebagai four poin zero city, artinya Jakarta bisa menyediakan platform kepada masyarakat, dan mampu melibatkan masyarakatnya memanfaatkan platform itu. Platform itu dapat berbentuk kebijakan, fasilitas infrastruktur, dan sebagainya.
Dan saya melihat pembangunan pariwisata Jakarta itu harus strategic vision, bukan tactical vision. Jadi harus berkelanjutan. Karena tactical vision itu biasanya hanya dari sisi competitiveness, padahal di pariwisata antara competitiveness dan sustainability sering kejar-kejaran.
Tantangan terbesar membangun pariwisata Jakarta?
Budaya masyarakatnya. Pengembangan pariwisata itu tidak bisa instan, sementara masyarakat kota besar semisal Jakarta itu ingin serba instan. Kan sudah ada contoh, Bali, yang memiliki budaya sadar wisata yang tinggi. Untuk mengubah pola pikir publik itu memang butuh waktu.
Pariwisata itu sejatinya ilmu untuk menghilang stres. Itu yang membedakan pariwisata dengan yang lain, kita harus bisa melayani dan menyenangkan orang.
Pariwisata itu juga industri yang sangat dinamis. Perubahan teknologi, perubahan perilaku konsumen itu harud diikuti dengan perubahan mindset sumber daya manusianya. Itu menjadi tantangan.
Terkait dengan kualitas SDM pariwisata Jakarta? Itu musti benar-benar diperhatikan. Saya sekolah (S1) perhotelan di Swiss selama 4 tahun. Pola pendidikannya boarding school. Sehari-hari kami tinggal di situ, belajar manajemen, belajar masak, belajar kebersihan, dan sebagainya. Di boarding school itu kita belajar professional attitude. Jadi passion itu akan dilengkapi dengan profesional attitude kita. Kami di brainstroming di situ, bagaimana membuat orang tersenyum, melayani, dan menata penampilan kita.
KOMENTAR
0