Perpaduan kehangatan warga dan dinginnya alam di kawasan Bromo, Tengger, Semeru mempercantik keelokan alam dan budaya di taman nasional itu.
Sejuknya kota Malang sudah meneror tubuh kami yang terbiasa hawa panas Surabaya dan Jakarta. Malam itu, kami menghimpun rasa penasaran sembari menanti jemputan untuk memburu matahari terbit di Taman Nasional, Bromo, Tengger, Semeru (BTS).
Tepat dini hari, kendaraan kami melaju melalui rute Pasuruan, lalu terus ke Lumajang yang memakan waktu sekitar empat jam. Jalanan kota secara cepat berganti dengan jalan aspal sempit yang menanjak. Naik dan turun mengikuti kontur perbukitan. Hutan lebat Taman Nasional BTS yang tertutup embun seperti menatap dingin pada rombongan kami. Mobil kami menderu melontarkan seluruh tenaga setiap bertemu tanjakan atau turunan curam.
Dari sekian banyak spot untuk menikmati kawasan matahari terbit dan tenggelam di Taman Nasional BTS, spot B29 di Desa Argosari, Kabupaten Lumajang, terbilang paling populer. Di titik inilah, para traveler menyebutnya negeri di atas awan. “B29 memiliki arti bukit di ketinggian 2.900 meter di atas permukaan laut. Tempat ini populer di kalangan wisatawan sebagai negeri di atas awan,” papar Edy Prakoso, warga Argosari yang biasa menemani wisatawan.
Saat sang fajar terbit atau tenggelam, gulungan halimun menutupi atap-atap perumahan penduduk. Menyisakan pelita dari lampu-lampu listrik, warna lembayung berkombinasi siluet hitam rumah-rumah warga dan titik-titik pelita menciptakan pemandangan magis, sebuah negeri di atas awan. Menangkap pemandangan ini, tentu perlu jerih payah. Setidaknya Anda harus menginap di homestay milik warga Rp50.000 semalam – di luar makan dan minum. Soal waktu yang tepat, juga boleh dikata berjudi dengan cuaca.
Walhasil, cara yang paling tepat menikmati negeri di atas awan, traveler harus menginap barang dua atau tiga malam. “Atau berkemah di atas bukit B29. Di atas bukit itu langit dipenuhi bintang yang tepat untuk para penggemar fotografi,” imbuh Edy.
Untuk mencapai puncak B29, terdapat jasa ojek di Argosari yang mematok tarif Rp75.000 pulang-pergi. Dengan tarif itu, ojek bersedia menanti Anda hingga puas berada di puncak. Mereka umumnya menggunakan sepeda motor kopling, buatan tahun 2000-an yang masih tangguh. Beberapa di antara mereka juga menggunakan motor-motor terbaru. “Jam kerja kami sesuai pesanan. Tapi rutinnya bila tak ada yang pesan seperti naik pada pukul 04.00, kami bekerja sejak pagi sampai siang. Itu sudah mencukupi untuk hidup sehari-hari,” ujar Rudianto, salah seorang pengojek.
Pemandangan menuju puncak B29 boleh dibilang menakjubkan. Punggung perbukitan dengan kemiringan 70 sampai 80 derajat, menghijau dengan tanaman bawang dan kacang, juga berbagai sayuran seperti brokoli dan kembang kol. Kami masih terus berpikir keras, bagaimana warga Tengger bisa menanam sayur di lereng yang begitu curam. Namun, pertanyaan kami seperti menguap di antara awan biru dan pemandangan indah yang bisu.
Di puncak B29, angin memainkan kulit kami. Cuaca yang dingin menjadi tak ramah karena angin yang kencang. Aktivitas memotret memang terganggu karena jari jemari kaku. Suhu ada di kisaran 10 sampai 15 derajat Celsius. Ini tantangan bagi traveler yang bisa tinggal di kota besar di Indonesia. Segala susah payah itu terbayar sempurna, melihat keelokan alam di puncak B29. Meskipun hari itu kami gagal menangkap sang fajar yang akan terbit, juga cuaca sangat cerah di atas hamparan pasir Gunung Batok dan Tengger.
Pagi itu Semeru dan Gunung Raung juga terlihat jelas, tak ada kumpulan awan atau asap mengepul akibat aktivitas vulkanik yang selalu tampil dalam foto-foto hasil jepretan fotografer profesional hingga amatir. Kami benar-benar kehilangan pemandangan yang melegenda itu. Toh, BTS bukan soal matahari terbit dan terbenam. Di BTS terdapat suku Tengger yang memiliki tradisi Hindu yang unik – yang membuat lingkungan suku Tengger seperti halnya perkampungan di Bali.
Robert W. Hefner, Indonesianis sekaligus Guru Besar Antropologi Universitas Boston, Amerika Serikat, dalam bukunya berjudul Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, memaparkan, orang-orang atau wong Tengger merupakan keturunan pengungsi Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-16, Kerajaan Majapahit yang bersekutu dengan Portugis untuk melawan Demak memantik kemarahan Raja Demak, Raden Patah. Setelah beberapa kali pertempuran, Majapahit yang saat itu berpusat di Daha berhasil dikalahkan. Kekalahan inilah yang memicu eksodus rakyat Majapahit ke pegunungan, yang sekarang berada di persimpangan Kabupaten Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, dan Malang.
Legenda Joko Seger dan Roro Anteng
Asal-usul kata Tengger melahirkan berbagai pendapat. “Tengger” bisa merujuk lokasi masyarakat ini berada. Ada pula yang bilang “Tengger” berasal dari kalimat Tenggering Budi Luhur yang berarti ‘budi pekerti yang luhur’ untuk melukiskan watak Suku Tengger yang ideal. Lalu, ada pula yang mengaitkannya dengan legenda Roro Anteng dan Joko Seger. Penggabungan dua kata terakhir dari sepasang suami-istri itu menghasilkan kata Tengger.
Roro Anteng merupakan putri pembesar Kerajaan Majapahit dan Joko Seger adalah putra seorang brahmana. Dua sejoli ini pun menikah dan turut mengungsi ke Tengger ketika Majapahit kalah oleh Demak. Joko Tengger kemudian menjadi pemimpin di wilayah Tengger, bergelar Purbawisesa Mangkurat Ing Tengger. Keturunan dari Roro Anteng dan Joko Seger inilah yang kelak menjadi Suku Tengger di Jawa Timur.
Dinukil dari situs www.goodnewsfromindonesia.id, suku Tengger masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit. Para leluhur suku Tengger menganut Hindu. Pun bahasa mereka juga begitu. Suku Tengger memiliki dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa terkini. Mereka masih menggunakan dialek bahasa Kawi bercampur beberapa kosakata Jawa Kuno—yang sudah tidak lagi digunakan oleh penutur bahasa Jawa lainnya. Inilah yang membuat pembauran suku Tengger dan Jawa di empat kabupaten itu berbatas bahasa.
Namun, kehidupan bermasyarakat dan beragama di wilayah Tengger terbilang padu dan harmonis. Tak pernah ada benturan antara orang Tengger yang Hindu dan orang-orang Jawa yang Islam. Cerminan kerukunan itu terdapat di Pura Mandharagiri Semeru Agung. Pura ini berdekatan dengan masjid dan gereja. “Sekaligus perwujudan kerukunan dan kekompakan suku Tengger, Jawa, dan Madura yang tinggal di Lumajang,” papar Edy.
Sekitar pukul 11.00 siang, langit di hari Sabtu pertengahan November yang teduh, halaman pura dipenuhi wisatawan dan masyarakat Tengger yang sembahyang. Suasana menjadi ramai saat warga bersama keluarga mengantar sesajen ke dalam pura. Pemandangan usai sembahyang tak kalah riuh. Warga yang umumnya sudah saling kenal itu menggelar tikar lalu duduk bersama menikmati bekal dari rumah. Mereka bersenda gurau sembari saling sapa. “Beginilah tradisi di desa kami, sembahyang sekaligus menjadi ajang pertemuan dan bersantai,” papar Marto, salah satu warga.
Tak jauh dari Pura Mandharagiri Semeru Agung, terdapat peternakan kambing etawa. Salah satu peternakan terbaik adalah Goatzilla Farm and Café. Terdapat banyak peternakan kambing etawa, namun inilah salah satu yang terbaik. Peternakan milik Saiful Siam ini terbilang unik karena wisatawan bisa menyaksikan proses pemerahan susu kambing hingga proses pembuatan keju susu kambing – yang diolah dalam berbagai jenis keju – hingga yogurt.
Kandang kambing selalu dalam keadaan bersih. Pemilik sangat memerhatikan kebersihan dan kesehatan kambing etawa, yang pejantan untuk kontes bisa seharga Rp180 juta, sementara pejantan untuk beternak berkisar Rp15-20 juta. “Kandang harus selalu bersih saat diperah dan setelah diperah. Tidak boleh ada kotoran dan bulu yang masuk melalui puting. Bakteri jahat bisa masuk ke dalam puting dan mengeraskan payudara kambing. Bila sudah begitu, dalam hitungan jam, kambing bisa mati,” ujar Lutfi Andi, karyawan Goatzilla Farm.
Kami sempat mencicipi susu kambing segar yang baru saja diperah dari salah satu indukan. Hmmmm, rasanya gurih dan segar mengalahkan susu sapi yang biasa kami beli di minimarket. Tak ada bau kambing ataupun kandangnya. Benar-benar segar. “Bila ada sehelai bulu yang jatuh ke dalam susu saat diperas, bisa merusak aroma susu. Berganti dengan bau kambing,” ujar Lutfi.
Menurut Lutfi, kambing etawa merupakan keturunan langsung kambing India yang dihadiahkan kepada Presiden Soekarno saat ke India. Kambing raksasa berbulu putih mulus ini telah diternakkan di Senduro dan menjadi ternak khas di wilayah itu, yang tak ditemui di daerah lain. Ciri kambing ini, selain tubuhnya yang gigantis, ia memiliki bulu putih tanpa tanduk – meskipun dewasa – dan memiliki telinga yang lumayan panjang serta berpilin. Panjang telinganya mencapai 50-an sentimeter.
Setidaknya butuh waktu sepekan untuk mengeksplorasi kehidupan masyarakat di Taman Nasional BTS. Itulah yang membuat kami merasa ingin kembali, untuk tak sekadar menikmati ketinggian Semeru atau indahnya halimun di kawasan Bromo. Sebab, BTS juga menyimpan keindahan budaya juga keramahan warga.
KOMENTAR
0