Gawai seolah tak bisa dilepaskan dari kehidupan anak-anak yang lahir di era ini. Padahal, potensi gawai merusak otak anak bisa terjadi jika anak dibiarkan terlalu lama menatap layar gawai tersebut.
“Istilah terhadap perilaku kecanduan gawai adalah screen dependency disorder (gangguan ketergantungan terhadap layer gawai) atau SDD,” kata dr Katherine, praktisi kesehatan dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Jumat (10/9/2021).
dr Katherine mengatakan, sebuah penelitian terbaru menemukan 30% anak di bawah usia enam bulan sudah mengalami paparan gawai secara rutin dengan rata-rata 60 menit per hari. “Di usia dua tahun, sembilan dari sepuluh anak mendapat paparan gawai yang lebih tinggi dan berpotensi membuat mereka mengalami SDD. Potensi gawai merusak otak anak bisa lebih tinggi jika si kecil terkena paparan gawai sejak dini.”
Beberapa tanda-tanda anak yang mengalami SDD dan perlu diwaspadai oleh orangtua, kata dia, di antaranya adalah: anak yang sibuk dengan gawai menjadi agresif atau pemarah jika tidak memegang gawai, anak menjadi tantrum bila gawai diambil darinya, anak menolak untuk berhenti bermain gawai meski orangtua telah memintanya berhenti memegang gawai, tidak tertarik bermain di luar rumah atau kegiatan ekstra di sekolah, tetap bermain gawai meski sudah mengetahui dampak negatifnya, memaksimalkan setiap kesempatan agar bisa bermain gawai lebih lama dan cenderung berbohong kepada orangtua, dan menggunakan gawai untuk mengalihkan perhatian dan meminta waktu lebih untuk memegang gawai.
“Selain tanda-tanda anak mengalami SDD, gawai juga dapat menjadi potensi utama merusak otak anak dan mengganggu proses tumbuh kembang anak,” kata dr Katherine. Kerusakan yang diakibatkan di antaranya adalah paparan layar gawai yang merusak otak anak hingga akibat pada tumbuh kembang otak pada anak.
Selain itu, anak juga akan mengalami kurang tidur sehingga kemampuan untuk fokus sangat rendah. Anak pun cenderung tidur di siang hari dan terjaga di malam hari. Setiap penggunaan gawai selama 15 menit dapat mengurangi waktu tidur anak sekitar 60 menit.
“Dampak lain yang mengkhawatirkan adalah terjadinya speech delay (terlambat berbicara) pada anak; mengalami masalah dalam tumbuh kembang fisik anak seperti berat badan turun atau justru naik dengan drastis, sakit kepala, kurang gizi, insomnia, hingga masalah penglihatan; dan masalah tumbuh kembang anak seperti kecemasan, perasaan kesepian, rasa bersalah, isolasi diri, dan perubahan mood yang drastis,” ujar dia.
SDD, kata dia, membuat otak anak menyusut hingga memengaruhi kemampuan mengatur rencana, organisir dan sebagainya. Selain terjadi pada anak, remaja dan orang dewasa juga menghadapi dampak negatif dari paparan gawai yang berlebihan.
“Karena otak anak masih berkembang, maka dampaknya akan lebih buruk bagi anak-anak. Orangtua harus melakukan berbagai cara agar anak tidak terpapar oleh dampak negatif gawai,” ujarnya.
Pertama, sibukkan anak dengan kegiatan dan tidak menggunakan gawai selama melakukan kegiatan tersebut. Anak-anak yang ketergantungan gawai disebabkan karena tidak ada kegiatan anak yang dapat dikerjakan. Karena tidak ada keadaan yang memaksa anak kita untuk melakukan sesuatu, maka timbul perasaan malas dan enggan untuk bergerak karena terbiasa tidak melakukan sesuatu.
Kedua, bersikaplah tegas dalam mendidik anak. Sikap tegas bisa dilakukan seperti dengan membekali anak dengan gawai lawas (jadul) yang tidak bisa mengakses internet, dan meng-uninstall aplikasi dan games yang membuat anak menjadi ketergantungan gawai.
dr Katherine mengatakan, jangan biarkan ini terus dilanjutkan karena akan merugikan orangtua, anak, bahkan orang-orang di sekitar. “Masa depan anak menjadi bergantung pada keputusan kita saat ini untuk tidak mudah diperbudak oleh gawai.”
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0