Hoaks merupakan informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah benar. Tujuannya membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan.
Menurut Erna Eriana, Chief Executive Officer, faktor penyebaran hoaks di Indonesia didasari oleh banyaknya pengguna internet dan tingkat literasi yang rendah. Hoaks ini juga dapat disebut sebagai kekacauan informasi yang dimaknai sebagai disinformasi dan misinformasi.
“Faktor ini menjadikan Indonesia pangsa pasar bisnis hoaks yang menggiurkan,” kata dia dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Selasa (7/9/2021). Menurutnya, 100 ribu situs hoaks yang di klik memberikan keuntungan 1,3 juta.
“Oleh karena itu, apabila kita menyebarkan berita hoaks sama dengan turut andil memberikan keuntungan kepada pembuat hoaks,” ujar Erna. Dia juga mengatakan, dengan menyebarkan berita hoaks, maka berpartisipasi dalam menyebabkan ruang digital yang negatif seperti banyak hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian.
“Lalu, kita turut andil terhadap kerugian materil dan immateril kepada korban hoaks. Dampak lainnya kita mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya menyebutkan dampak negative menyebarkan hoaks.
Menurut Erna, wabah hoaks sudah menjadi masalah nasional. “Terjadinya perpecahan dan perdebatan politik di media sosial. Kita bertengkar di media sosial,” tuturnya.
Dampak dari fenomena hoaks ini, kata dia, tentu mengganggu kerukunan, merugikan, meningkatkan potensi kriminalitas online, praktik pembodohan-untrust, hingga menghambat pembangunan. Erna mengatakan, saat ini pemerintah telah memiliki upaya regulasi dalam mengatur hoaks, yakni dengan Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang ITE dan Permenkominfo No.19 Tahun 2014 tentang penanganan situs bermuatan negatif.
Menurut Erna, adanya literasi digital bisa menjadi salah satu cara masyarakat tahu dan mampu menanggulangi hoaks. “Cara mengidentifikasi hoaks, masyarakat bisa memperhatikan judul informasi. Judul yang spektakuler dan provokatif merupakan ciri-ciri hoaks,” kata dia.
Kedua, lanjut Erna, tidak adanya sumber referensi yang jelas. Ketiga, terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan atau terlalu mengerikan. Keempat, cocoklogi atau mencocokan secara paksa. Kelima, minta di-share atau diviralkan. Keenam, adanya manipulasi foto, serta URL atau alamat website yang meragukan.
Meski telah mengetahui dan mampu menidentifikasi berita hoaks, lanjut Erna, masih banyak masyarakat yang diam terhadap peredaran berita hoaks yang masif ini. Menurut dia, apabila kita tidak bertindak terhadap beredarnya hoaks sama dengan kita membiarkan itu tersebar.
“Pengguna internet seharusnya menjadi smart netizen yang mampu menyaring berita dan hoaks,” kata Erna. Dia pun mengingatkan untuk tetap hati-hati, mengevaluasi, mengoptimalkan konten positif, dan melaporkan hoaks.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10 juta orang terliterasi digital pada tahun 2021, dan tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan empat pilar utama, yaitu Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills).
KOMENTAR
0