Saat meluncurkan program Literasi Digital Nasional 20 Mei lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus meminimalkan konten negatif dan terus membanjiri ruang digital dengan konten-konten positif. Sebab, tantangan di ruang digital semakin besar, seperti konten-konten negatif, kejahatan penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, ujaran kebencian, dan radikalisme berbasis digital.
Untuk itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Siberkreasi mengadakan webinar Literasi Digital untuk wilayah Jawa Barat pada 29 Mei 2021.
Lestari Nurhajati, Vice Rector IV for Innovation and Business LSPR Communication and Business Institute, mengatakan, keamanan dalam bermedia digital yang utama ialah menjaga identitas digital. Masyarakat harus memahami mana identitas pribadi yang perlu dan tidak perlu dibagikan di dunia digital.
“Jangan pernah menggunggah foto KTP sebab dapat disalahgunakan. Kode OTP, PIN, juga two factor authentication di platform e-commerce hanya kita sendiri yang tahu, tidak untuk diberitahukan kepada orang lain,” ungkapnya.
Kejahatan digital lainnya ialah pembobolan data. Pengambilan data ini bisa berasal dari kesalahan kita saat membuka link sembarangan, seperti voucher juga panggilan spam.
Masyarakat harus disadari dengan adanya jejak digital. Jejak digital dapat pembawa sial di masa depan. “Selalu berkomentar positif menjadi kewajiban kita agar dapat mengetahui seperti apa kita di hari ini secara daring dalam 10 tahun ke depan,” ujar Lestari.
Moch Latif Haidah, penggiat literasi digital, mengatakan, salah satu hal yang harus dilakukan para pengguna internet di Indonesia ialah bagaimana mereka harus berinteraksi dengan tetap menegakkan sopan santun. “Masyarakat merasa dapat berkomentar apa pun karena tidak bertatap muka secara langsung padahal ada jejak digital yang tidak akan hilang sampai kapan pun,” ujar Latif.
Jika dilihat dari faktor sosial, sosiolog Universitas Indonesia Devie Rahmawati menjelaskan, ada budaya digital yang kini menjangkiti masyarakat, yakni era di mana semua orang mencari perhatian. “Akibatnya, banyak yang iri melihat ada orang liburan dan lainnya. Membuat mereka menjadi tidak mampu mengelola keuangannya dengan baik. Yang terjadi, generasi muda tapi sudah banyak terlilit utang dan sebagainya demi memenuhi gaya hidup,” ujar Devie.
Karakter yang kedua adalah masyarakat sekarang lebih banyak posting sehingga akhirnya melewatkan momen. Saat berlibur bukan menikmati pemandangan indah, tapi sibuk untuk membagikan kepada pengikut di media sosial.
Devie juga menyebut karakteristik masyarakat masa kini ialah sangat banyak menerima informasi. Dulu, untuk melakukan riset saja harus pergi ke berbagai kampus. “Sekarang, informasi istilahnya tumpah ke kita malah yang akhirnya jadi masalah. Semakin lemah budaya kurasi, kita tidak tahu mana yang benar, bingung karena semua informasi kita dapatkan,” ujar Devie.
Devie menjelaskan makna literasi digital sebagai ruang digital yang penggunanya mampu memanfaatkan berkahnya dan menghindari bencana. Presiden Jokowi juga mengharapkan dengan semakin cakap digital, maka masyarakat dapat menjadi semakin produktif.
Ferally Mahardika, Digital Media Business Manager Inventory, mengatakan, “Media sosial menjadi penolong saat pandemi, mulai dari berinteraksi hingga menambah rezeki. Konser musik yang dulu dilakukan bersama-sama akibat pandemi kini dilakukan virtual,” ujar Ferally.
Tidak heran, kini banyak masyarakat yang memanfaatkan media sosial untuk menambah pundi-pundi dengan berdagang dan menjadi pembuat konten kreatif. Ferally mengungkapkan, bergelut di dunia digital dapat dilakukan oleh semua latar belakang pendidikan, hanya dibutuhkan orang-orang yang ingin belajar dan kreatif.
KOMENTAR
0