Perkembangan teknologi informasi dan keterbukaan informasi di dunia digital turut memengaruhi nilai dan norma dasar budaya Indonesia. Misalnya, Indonesia sempat mendapat predikat sebagai warganet paling tidak sopan di dunia karena budaya digital di Indonesia yang tidak terlalu baik.
“Saling hujat, budaya yang marah saling singgung. Belum lagi hidup digital tanpa punya kepekaan terhadap budaya orang lain,” ujar Devie Rahmawati, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, saat acara Webinar Literasi Digital, 29 Mei 2021.
Di sisi budaya dalam kecakapan digital dan bijak saat bersosial media, muncul masalah lain seperti kasus cyber bullying yang bisa menyebabkan orang bunuh diri. Hal itu pun menjadi keresahan para orang tua yang anak-anaknya lebih sibuk dengan gawai.
Oleh karena itu, para orang tua harus mendapatkan literasi digital agar mampu mendampingi anak-anaknya sejak dini ketika berseluncur di dunia maya.
Diena Haryana, Pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini, mengungkapkan, orang tua harus kreatif membuat anak lebih tertarik pada dunia nyata dibandingkan sibuk dengan gawai.
“Kalau anak sudah sering main gawai, games, melihat pornografi, itu secara visual menarik dan menstimulasi dengan cepat, maka dunia nyata menjadi tidak menarik,” tutur Diena.
Ada banyak dampak negatif bila orang tua tidak melakukan pendampingan. Salah satunya kemampuan sensori akan terganggu, obesitas, tidak ada keinginan makan, bahkan belajar.
“Hindari untuk menenangkan anak dengan memberi gawai, berikan krayon, buku, sepeda, dan harus ada zero zone tanpa gawai di ruang tidur dan ruang makan,” kata Diena.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Bogor diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dengan 4 pilar utama, yaitu digital skills, digital ethics, digital safety, dan digital culture, untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.
KOMENTAR
0