Perkembangan teknologi informasi dan pandemi COVID-19 memaksa dunia dan Indonesia mengadaptasi gaya hidup baru yang mengandalkan dukungan teknologi internet. Perubahan ini menghasilkan lonjakan jumlah pengguna sekaligus meningkatkan risiko keamanan digital, seperti pornografi, kekerasan, dan kejahatan seksual.
Bahkan, kejahatan digital tersebut juga telah menyasar anak Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Media 2018 oleh End Child Prostitution in Asian Tourism (ECPAT) Indonesia, terdapat 150 kasus eksploitasi seksual anak dan 379 anak menjadi korban. Karenanya, literasi digital orang tua dan anak perlu dilakukan sebagai upaya untuk menekan dampak negatif internet.
Tak hanya dunia maya, kehadiran media sosial dan jejaring sosial juga telah memasuki dan merambah generasi muda. Sayangnya, media sosial tersebut banyak juga yang disalahgunakan untuk hal-hal yang melanggar norma, seperti menonton film-film dewasa, mengikuti game online yang berbau judi, dan sebagainya.
“Kecakapan digital harus ditingkatkan dalam masyarakat agar mampu menampilkan konten kreatif mendidik yang menyejukkan dan menyerukan perdamaian. Sebab, tantangan di ruang digital semakin besar seperti konten-konten negatif, kejahatan penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, ujaran kebencian, radikalisme berbasis digital,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutan kegiatan webinar Literasi Digital untuk wilayah Bangkalan, Jawa Timur, pada 31 Mei 2021.
Emy Susanti, Ketua Pusat Studi Gender & Inklusi Sosial Universitas Airlangga, mengatakan, akses teknologi sangat pesat menyebabkan akses pornografi sangat tinggi. Hal ini membuat peran orang tua sangatlah besar. Karena di era digital ini anak-anak dan remaja sangat peka untuk mencari konten-konten porno.
“Ke depannya kita harus membicarakan literasi pornografi dalam literasi digital dalam persepsi gender. Sehingga sangat diperlukan peran pemerintah dalam undang-undang ITE. Sangat penting untuk melindungi masyarakat terutama perempuan dan anak-anak,” ujar Emy.
“Tujuan utama dari pendekatan literasi pornografi adalah untuk mengajarkan keterampilan remaja untuk menganalisis secara kritis pesan-pesan dalam pornografi. Untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang risiko pemaparan dan untuk mendorong bersikap kritis dalam melihat konten dan pesannya,” ujar Emy.
Dampak negatif perkembangan digital bukan hanya dari sisi pornografi, tapi juga dari sisi moral. Hal ini diungkapkan Ekta Maghfiroh, guru Sekolah menengah Atas (SMA). Menurutnya, pergeseran moral saat ini sudah sangat terlihat, khususnya pada generasi muda. Contoh sederhana dapat dilihat dari cara mereka mengirim pesan instan dengan cara yang kurang sopan.
“Kejadian terjadi pada salah satu siswa saya chat ke saya dengan hanya huruf p saja. Keesokan harinya saya bertemu dengan siswa tersebut langsung saya tanyakan maksud kamu chat huruf P apa? Kata siswa tersebut adalah memanggil saya. Langsung saya tegur kenapa tidak chat assalamualaikum atau menyebutkan nama. Dengan berkembangnya teknologi sehingga terjadi pergeseran moral,” ujar Ekta.
KOMENTAR
0