Jakarta, Venuemagz.com – Indonesia sedang “berlari” menuju panggung dunia. Di atas kertas, negeri ini bercita-cita menjadi pusat pertemuan, pameran, dan konvensi Asia. Namun, di lapangan, “pelari” itu justru tersandung di garis start bukan karena kurang semangat, melainkan sebab benang kusut regulasi.
Hosea Andreas Runkat, Ketua Umum ASPERAPI, menyampaikan dengan nada frustrasi tapi masih berupaya diplomatis dalam acara ASPERAPI Afternoon Tea yang sekaligus meluncurkan AFECA Convention dan IBEF 2025beberapa waktu lalu. Masalahnya bukan soal panggung, bukan pula soal peserta. Semua siap. Yang jadi penghambat justru satu hal yang semestinya paling sederhana: VISA.
“Kita mau datangkan orang buat event internasional, tapi visanya bagaimana? Sekarang ini visa jadi momoknya kita. Terlalu banyak jenis, terlalu kaku,” ujarnya.
Kerumitan yang Tak Masuk Akal
Di luar negeri, dunia pameran cukup mengenal dua jenis visa: bisnis dan turis. Selesai.
Namun, di Indonesia, daftar itu menjelma jadi labirin birokrasi dengan kode misterius, ada C10, C11, bahkan varian lain yang tak semua pelaku industri paham peruntukannya.
Aturan ini bukan hanya merepotkan, tapi berpotensi mencoreng wajah Indonesia di mata dunia.
Beberapa peserta asing pernah terjebak dalam razia mendadak, ada yang tertahan di bandara saat akhir pekan, bahkan ada yang mengalami deportasi hanya karena salah klasifikasi visa.
“Coba bayangkan, peserta datang untuk konferensi, tapi dianggap pelanggar. Paspor disita, harus menunggu sampai Senin untuk diproses. Mereka rugi tiket, rugi hotel, dan pulang dengan pengalaman buruk,” kata Andre.

Kasus seperti ini bukan hanya soal prosedur, melainkan soal reputasi. Deportasi bagi seorang peserta pameran sama artinya dengan stempel “tidak ramah” bagi negara penyelenggara. Dalam jangka panjang, efek psikologisnya jauh lebih mahal daripada tiket pesawat yang harus diubah.
Birokrasi yang Tak Seirama
Ironinya, di satu sisi pemerintah gencar mempromosikan Wonderful Indonesia dan “kebangkitan MICE” pasca-pandemi. Namun, di sisi lain, pintu masuk bagi pelaku industri luar negeri justru dijaga ketat dengan aturan yang tak sinkron antar-kementerian.
Kementerian Pariwisata dan Imigrasi seolah berjalan di dua jalan berbeda. Koordinasi tumpul, implementasi di lapangan lemah, dan pelaku industri seperti ASPERAPI sering kali harus menjadi penengah, bahkan menjadi penanggung jawab moral atas kekacauan yang bukan mereka buat.
“Kami sudah minta pendampingan ke pemerintah. Setidaknya ada hotline atau jalur cepat di imigrasi untuk event internasional. Tapi sejauh ini belum ada tanggapan,” kata Andre.
Citra yang Terancam
Sektor MICE selama ini menjadi wajah profesional Indonesia di mata dunia. Lewat pameran, konferensi, dan konvensi, kita mempertemukan gagasan, peluang bisnis, dan kolaborasi lintas negara. Namun, jika setiap tamu harus menanggung kekhawatiran soal visa, maka panggung besar itu bisa sepi penonton.
Kita tak sedang bicara soal teknis dokumen semata, tapi tentang kepercayaan global. Di era ketika reputasi bisa ditentukan oleh satu unggahan TikTok, satu video keluhan dari peserta asing bisa meruntuhkan upaya promosi yang dibangun bertahun-tahun.
Solusi yang Sebenarnya Sederhana
Kritik ini bukan tanpa arah. Dunia industri justru menawarkan solusi yang rasional. ASPERAPI telah mengusulkan agar pemerintah menyederhanakan kategori visa menjadi dua saja: bisnis dan leisure. Langkah sederhana ini akan memotong rantai kebingungan yang selama ini menjerat peserta, EO (Event Organizer), dan bahkan petugas di lapangan.
Selain itu, Andre mengusulkan adanya pembukaan layanan imigrasi di akhir pekan, setidaknya di bandara dan lokasi event besar, bisa menjadi langkah realistis untuk menghindari kasus penahanan peserta saat weekend.
Sebab, sebagaimana bandara tetap beroperasi di hari libur, logikanya dunia event juga tak berhenti di hari Sabtu dan Minggu. “Yang kami minta sebenarnya sederhana saja, kebijakan yang bijak. Jangan sampai Indonesia dianggap negara yang berbahaya bagi peserta pameran hanya karena urusan visa,” tegas Andre.
Menutup Panggung Sendiri
Pemerintah boleh berbangga dengan target 20 juta wisatawan dan investasi triliunan di sektor MICE. Namun, tanpa kebijakan yang ramah dan terintegrasi, semua itu hanya jargon yang terdengar megah di atas podium.
MICE adalah wajah diplomasi modern, bukan lewat pidato, tapi lewat pertemuan antar-manusia.
Dan jika pintu itu masih dipersulit dengan birokrasi yang menakutkan, maka Indonesia, dengan segala potensinya, sedang menutup panggungnya sendiri dari mata dunia.






KOMENTAR
0