Mencetak Generasi Penerus Industri Event

Monday, 19 February 24 Bayu Hari

Minat generasi muda mempelajari event management bertumbuh. Mereka melihat sektor ini sebagai bidang yang kreatif, dinamis, dan memiliki peluang menjanjikan.  

Sepulang mengikuti program pelatihan di Bali pada 1996, Christina L Rudatin, langsung jatuh hati pada  industri MICE (Meeting, Incentive, Convention Exhibition), yang saat itu masih awam terdengar di telinga. Kemudian ia menelusuri dan mengorek semua informasi tentang industri MICE, memahami proses bisnisnya, dan bergaul dengan para pelaku. 

“Untuk belajar MICE, ternyata mereka (pelaku) harus ke luar negeri. Biayanya mahal. Dan ketika menjalankan bisnisnya itu, mereka kesulitan mencari sumber daya manusia,” kata Christina, perintis Program Studi MICE di Politeknik Negeri Jakarta.

Pada awal tahun 2000 an, ia mulai menyusun studi kelayakan untuk menyakinkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bahwa ada kebutuhan sumber daya manusia (SDM) MICE di Indonesia. Namun, karena minimnya data dan referensi, studi kelayakan itu baru rampung pada 2002. Dan tiga tahun kemudian, pada 2005 PNJ mengantongi izin pembukaan Program Studi MICE. 

“Saya menyakinkan mereka. Selama di bumi ada manusia, kebutuhan akan event selalu ada. Lulusannya juga tidak mesti bekerja di perusahaan organizer, tapi bisa di mana pun, di instansi pemerintah atau perusahaan swasta. Mereka menjadikan event sebagai sarana marketing, PR, CSR, dan sebagainya. Jadi SDM MICE itu dibutuhkan,” katanya. 

Industri MICE nasional terus bertumbuh. Pelaku usaha semakin giat menggelar acara, dan Indonesia sering menjadi tuan rumah perhelatan acara berskala internasional yang digelar oleh asosiasi maupun instansi pemerintahan.   

Seiring berkembangnya industri, permintaan akan SDM di bidang MICE juga meningkat, yang berujung pada banyaknya perguruan tinggi yang membuka program studi di bidang manajemen event atau MICE. Tidak hanya perguruan tinggi negeri seperti Politeknik Pariwisata NHI di Bandung, Palembang, Bali, dan Makassar yang di bawah naungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, tetapi juga perguruan tinggi swasta seperti Politeknik Internasional Bali, Universitas Prasetiya Mulya, dan Universitas Pancasila. Secara keseluruhan, lebih dari 20 perguruan tinggi di Indonesia kini menawarkan program studi event/MICE.

BACA JUGA:   Presiden Pastikan Pengembangan Empat Destinasi Prioritas Selesai 2020

Minat generasi muda untuk berkiprah di industri event. Menurut Endang Komesty Sinaga, Wakil Direktur I Bidang Akademik dan Penjaminan Mutu Politeknik Pariwisata NHI Bandung, generasi Y/Z cenderung tertarik pada pekerjaan yang kreatif, fleksibel, dan berinteraksi dengan  banyak orang. 

“Kami mewawancarai para mahasiswa baru, rerata mereka tertarik dengan MICE karena sifat pekerjaannya sangat dinamis,” katanya.  

Politeknik Pariwisata NHI Bandung mulai mencetak sumber daya manusia di bidang event management pada 2007, setelah mengantongi izin pembukaan program studi Pengelolaan Konvensi dan Acara. Pada tahun pertama, ada satu kelas yang terdiri dari 25 orang yang mengambil program tersebut. Sejak tiga tahun terakhir (2021), mulai membuka dua kelas, dengan total mahasiswa berjumlah 50 orang per angkatan.       

“Karena perkembangannya pesat dan peminatnya banyak, akhirnya kita buka dua kelas. Dari 10 program studi, minat terhadap MICE berada di peringkat 4, setelah Seni Kuliner, Pengelolaan Perhotelan, dan Destinasi Pariwisata,” kata Endang. 

Kenaikan minat belajar event management juga terjadi di Politeknik Negeri Jakarta. Apabila pada 2005 hanya membuka dua kelas, maka sejak 2021 program studi MICE memiliki empat kelas, yang masing-masing kelas terdiri dari 30 orang. 

Menurut Fauzi Mubarok, Kepala Program Studi D4 MICE, meskipun jumlah kelas bertambah, namun persentase pendaftar yang diterima masih cukup tinggi. “Ketika dua kelas perbandingannya 1:100, sekarang 1:90. Jadi satu kursi diperebutkan oleh 90 orang,” kata Fauzi, yang kebetulan merupakan alumni Program Studi D4 MICE angkatan pertama.  

Memenuhi Selera Industri

Untuk mengetahui apakah alumninya terserap di dunia kerja, pihak kampus melakukan tracer study. Di Politeknik Negeri Jakarta, pada periode 2005-2012, sekitar 70 persen alumni terserap di industri event, 30 persen sisanya berkarir di sektor lain. 

BACA JUGA:   Beauty Professional Indonesia 2015, Tak Sekadar Pameran Kecantikan Internasional

“Tapi sekarang komposisinya  bergeser, sudah 50:50. Banyak juga alumni yang bekerja di sektor lain seperti perusahaan media dan finansial, tapi mereka tetap mengurusi event production,” kata Fauzi. 

Fenomena serupa juga terjadi di Universitas Prasetiya Mulya, yang mulai membuka program studi event management sejak 2015 lalu. Dari 50 alumni di setiap angkatan, rerata 80 persennya tetap berada di industri event

“Mahasiswa yang mengambil prodi ini memang dari awal telah memutuskan untuk berkiprah di industri. Entah itu bekerja di perusahaan organizer ataupun membuka bisnis sendiri yang bergerak di bidang event management,” kata Hanesman Alkhair, Manajer Program S1 Event Universitas Prasetiya Mulya. 

Terserapnya alumni di dunia kerja memang menjadi fokus utama pihak kampus guna meningkatkan reputasinya sebagai pencetak SDM berkualitas. Oleh karena itu, beragam upaya dilakukan untuk memenuhi selera industri. Mulai dari melakukan komunikasi dan diskusi dengan para pelaku secara berkala, memberikan ruang bagi praktisi untuk mengajar, hingga frekuensi kerja magang di industri yang terus diperbanyak. 

Simbiosis mutualisme antara kampus dan industri pun dibentuk. Misalnya, ketika perusahaan organizer membutuhkan tenaga volunteer, freelance atau daily worker, mereka pun menghubungi pihak kampus untuk meminta bantuan. Alhasil, perusahaan organizer diuntungkan karena kebutuhan SDM MICE terpenuhi, dan kampus pun mempunyai wadah untuk menguji teori yang telah diberikan agar dapat dipraktekkan oleh mahasiswanya. 

Selain itu, agar para alumni benar-benar siap menghadapi dunia kerja, pihak kampus juga mewajibkan mahasiswanya melakukan kerja magang di perusahaan organizer selama enam bulan. “ Mahasiswa juga melakukan proyek mandiri. mereka merancang konsep event dan kemudian mengeksekusinya,” kata Fauzi. 

BACA JUGA:   Epson Indonesia Lakukan Sinergi dengan Media

Diversifikasi Kurikulum

Meskipun semua perguruan tinggi secara umum mengajarkan tentang bagaimana mengelola acara, mereka juga memiliki penekanan atau konsentrasi kurikulum yang berbeda-beda. 

Di Politeknik Negeri Jakarta, konsentrasi kurikulumnya lebih dominan di bidang convention dan exhibition, porsinya kurang lebih mencapai 70 persen. Sisanya, sekitar 30 persen diisi dengan unsur special event, dan incentive travel.   

“Sejak awal kami fokusnya pada dua aspek, yaitu exhibition dan convention. Walaupun jika melihat peluang di bidang sport event, konser sangat besar ke depan. Untuk mengisi porsi yang lebih kecil itu kami sisipkan dalam mata kuliah pendukung,” kata Fauzi. 

Sedangkan di Prasetiya Mulya, konsentrasi kurikulumnya terbagi menjadi tiga porsi besar, yaitu business event, sport event, dan art event. Untuk business event dan sport event mungkin dapat dipahami, lantaran kedua bidang itu terbukti punya potensi besar. 

Untuk bidang art event, boleh dibilang itu merupakan terobosan yang dilakukan Prasetiya Mulya. Menurut Hanesman kualitas karya seni Indonesia bagus, tapi kurang digarap secara maksimal. 

“Kami melihat ada peluang di sana. Berdasarkan riset kami, seniman itu hanya ingin fokus berkarya, tidak mau terlibat jauh dalam bisnis karena takut karyanya menjadi tidak murni lagi,” katanya. 

Meningkatnya minat dan beragamnya konsentrasi perguruan tinggi pada bidang tertentu, sejatinya akan membuat kualitas SDM di bidang event di Indonesia semakin berwarna. Perguruan tinggi telah mengambil langkah penting mengintegrasikan teori dan praktik, serta mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri.